Danang Putra Arifka's

Blog

Aku selalu suka rambutmu yang dikuncir ke belakang, seperti lambai ekor kuda yang berlari di lintasan, seperti pasta panas yang baru diangkat dari panci. Dengan suara sedikit tersengal, kamu mulai bercerita tiap sepulang sekolah, tentu saja tentang hari ini, tentang teman sebangkumu yang absen karena kena flu, tentang tugas fisika dan matematika yang selalu merepotkan, juga tentang kekhawatiranmu menjelang ujian nasional. Dengan berbagai kerumitan yang tentu melelahkan, nyatanya kamu selalu bisa menutup hari dengan tetap terlihat cantik.


Kita sama-sama suka jalan-jalan, mengisi ruang-ruang kita dengan bias tawa dan kebahagiaan, kita sama-sama menyukai wangi getah hutan pinus, juga embusan angin pantai pasir putih yang gemulai. Jika ada pertanyaan kenapa selalu menyenangkan ke pantai dan ke gunung? Jawaban gampangnya mungkin karena aku mengunjunginya bersamamu. Jika bukan bersamamu mungkin tidak jadi menyenangkan. Saat di perjalanan dan melihat senyummu dari kaca spion adalah salah satu bagian menyenangkannya.


Aku dan kamu setuju, bagian terbaik dari jalan-jalan adalah makan-makan, dan makanan terbaik menurutmu adalah Pop Mie, karena selain mudah ditemukan, dia juga mudah disajikan. Sedang makanan terbaik menurutku adalah menghabiskan sisa Pop Mie-mu yang entah kenapa selalu gagal kamu habiskan. Kebahagiaan, seringkali diraih bukan dari momen yang mewah, bisa jadi dari kisah kelantur sederhana namun dilewati dengan orang yang tepat.


Kita tidak pernah berpikir bahwa waktu yang kita habiskan untuk mengukir cerita manis nyatanya di saat bersamaan dengan tidak sadar kita juga sedang meramalkan rasa sakit. Tidak pernah terlintas di kepala kita bahwa setiap rasa akan menemui titik kekecewaan, sebuah kecewa yang melahirkan luka mendalam namun tidak berbekas. Luka yang bukan segampang berdarah kemudian menyekanya dengan kain perca dan menutupnya dengan perban. Melainkan tentang sebuah luka yang akan kembali terbuka saat kelak menengok ke gunung dan pantai yang sama, sebuah luka yang akan kembali berdarah saat kelak kembali berkunjung ke tempat-tempat yang dulu pernah ada kita.


Tapi bukankah memang itu yang menjadikan kita sepasang manusia yang rakus? Selalu tidak puas dengan serentetan pertemuan-pertemuan, yang selalu mengkambinghitamkan rindu untuk alasan setiap temu. Sementara kita tau, temu hanya akan membuat hari setelahnya menjadikan rindu semakin menggebu. Jika dipikir-pikir, kita tidak pernah menemukan alasan yang tepat untuk merancang pertemuan, kita hanya mencari-cari sebuah premis yang terdengar pantas namun sebenarnya absurd untuk dijadikan alasan bertemu.


Ada masa dimana kita sudah jarang berbicara lama di telepon, tidak ada lagi chat panjang seperti yang dulu pernah menghiasi kolom whatsapp-ku. Kita lebih sering bergantian bertukar kalimat "aku tidak apa-apa" seolah itu adalah tembok besar dan kita bergantian bersembunyi di baliknya. Maka, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri segala kekakuan yang ada. Aku tidak ingin kamu bersusah-susah mencari alasan yang tepat, atau mencari-cari premis absurd yang terdengar pantas untuk dijadikan sebuah alasan. Karena aku tau, sudah bukan aku orang yang kamu pin paling atas di chat whatsapp-mu. Sudah bukan aku, orang yang ingin kamu ajak ke sana, ke hutan pinus dan ke pantai pasir putih. Dan aku pun bisa mengerti kenapa demikian, karena sudah bukan aku lagi manusia yang kamu ingin untuk bisa memenangkan hatimu

Aku mempersilakan dengan baik orang-orang yang hendak berteduh dari lebatnya hujan sore ini. Sebagaimana pula aku mempersilakanmu masuk yang sedari tadi berdiri lama di pintu ingatan.


'Kamu tau? Aku tidak ingin kalah, namun di sisi lain, aku juga tidak mungkin menang.' Kurang lebih itu, yang ingin diucapkan air mataku yang gagal ku selamatkan dari jatuh di hari saat aku melepasmu untuk yang terakhir kali.


Jangan menangis sayangku, kamu termaafkan. Aku saja yang bebal. Jangan bersedih cintaku, kamu dimulyakan. Dari jawaban yang diberi dunia, tidak ada pilihan untuk kita saling membahagiakan. Jangan menyerah manisku, kamu tak lekang waktu. Dunia tau, kamu sempurna untuk dibahagiakan.


Lamat-lamat gubahan sabda fatwa pujangga seperti terdengar dari tape recorder yang sangat jauh. Kaki mungilmu dengan sepatu hak ku pandu sambil tangan kita berpegangan. Lantai dansa bertepuk tangan. Kaki kita mengayun ke kiri dan ke kanan seraya mataku dan matamu bertemu. Senja dan hujan bersulang. Gelas-gelas tak karuan. Awan mendung dengan gunturnya bersorak-sorai. Menandai pesta yang sepi telah usai.


Aaarrggggghhh.....


"Seharusnya kita seperti ini di masa depan" gumamku pada kursi kosong di depanku yang ku seolah-olahkan kamu ada di situ. "Sayang, restu orang tuamu terlalu mahal, untuk pemuda kere seperti aku" kata hatiku melanjutkan.


Jika hujan boleh jatuh berkali-kali di pipimu, bolehkah aku berulang-ulang mengingatmu?

Kamu lahir saat bapak tidak punya uang, tapi meski tidak punya uang bapak seneng lihat kamu lahir selamat. Bapak, kamu dan ibumu bahkan sampai 5 hari di Rumah Sakit, karena lahirmu sedikit spesial. Saat itu perekonomian dunia sedang hancur karena wabah Covid-19 dan kelahiranmu menandai puncaknya.


Bapak bersyukur, ibumu punya kartu KIS jadi tidak perlu bayar biaya operasi dan rawat inap rumah sakit yang mahal. Hanya saja kebutuhan pribadi saat itu tidak bisa di cover kartu KIS. Jadi mau tidak mau kita harus bergantung dengan sisa tabungan bapak yang tidak banyak untuk membeli susu formula dan segala tetek bengek kebutuhanmu.


Bahkan untuk syukuran kelahiranmu bapak harus ngutang dulu ke mbah putrimu, bayarnya nanti kalau sudah ada uang. Bapak meyakini, setiap manusia yang lahir membawa rezekinya masing-masing.


Maka dari itu anakku, jangan jumawa jika suatu hari kamu jadi orang berada, kamu harus ingat, saat lahirmu bapak tidak punya apa-apa. Bapak cuma punya kamu sama ibumu.


Jika suatu hari kamu menemui dirimu tidak disayangi, kamu merasa sendirian, hatimu dipatahkan, hingga merasa tidak ada seorang pun yang mempedulikanmu. Kamu harus ingat ini, bapak adalah orang yang sangat bersyukur atas keberadaanmu di dunia. Bapak adalah orang pertama yang rela melakukan apa pun demi kebutuhanmu tercukupi. Kamu adalah alasan bapak ingin tetep jadi orang keren agar kelak bisa jadi Hero yang bisa kamu banggakan. Jika kamu menoleh ke belakang, ada rasa sayang bapak yang tidak bisa kamu ukur besar dan luasnya.

Nanti, saat kita ada waktu untuk kembali berjumpa. Aku berharap kita bisa berbicara banyak hal tanpa ada rasa kaku atau canggung. Membincangkan banyak hal tanpa kikuk atau pun terbebani perihal dulu kita yang pernah genap, sebelum akhirnya memilih untuk menjadi ganjil pada diri masing-masing.


Jika hari itu tiba, aku berharap kita menjadi dua orang paling ringan yang duduk di satu meja. Berbicara ngalor ngidul, melahirkan tawa-tawa kecil yang kemudian membesar seiring topik pembicaraan kita yang semakin tidak karuan.


Tidak hanya itu, aku harap aku bisa tau, bukan tentang bagaimana caramu merawat luka setelah 'kita', melainkan apa saja yang kamu temui setelah bukan lagi 'kita'. Termasuk tentang bau parfummu yang berubah, warna lipstikmu yang jadi cerah, atau tentang koleksi bukumu yang masih sama atau tambah.


Menurutku kamu agak kurus ketimbang sebelumnya, matamu yang sekarang lebih tajam, atau bisa jadi aku salah? Aku samar, mungkin karena dulu aku lebih sering membuatnya basah.


Aku ingin tau apa film terbaru di bioskop yang baru-baru ini kamu tonton? Aku juga penasaran series drakor apa yang sedang kamu tunggu-tunggu di Netflix. Dan tentu saja aku bisa menebak kamu masih suka makan seblak. Apa menurutmu seblak Rafael itu enak? Iya, menurutku begitu. Apalagi dimakan pakai mendoan.


Aku juga penasaran. Bagaimana aku di matamu? Apakah masih sama menjengkelkannya seperti lelaki yang meninggalkanmu 2 tahun lalu? Apakah menurutmu ada yang berubah dari penampilanku? Hei, aku sekarang 86 kg. Aku berani bersumpah aku tidak makan bakso berikut gerobaknya.


Oh iya, waktu makan bareng kamu, kamu sering tidak habis dan aku selalu yang ngabisin sisa makananmu, aku jadi punya kenangan tersendiri tentang itu. Pernah, waktu itu aku makan di luar, melihat ada sepasang anak manusia makan di sana, dari sisa makanan yang mereka tinggal, entah kenapa ingatanku berpulang padamu.


Kamu sudah baca buku #BincangAkhlak, Jek? Aku suka di bagian dia menulis “Percayalah, rezeki itu tidak akan tertukar. Tidak mungkin rezekimu yang sedikit tertukar sama rezeki orang yang banyak”. Jika belum, maka kamu harus segera baca buku ini. Lucu. Menurutku dia adalah tipe penulis yang saat kamu baca tulisannya, kamu pengen nonjok penulisnya.


Hmmm, aku hampir lupa. Happy Birthday, ya. Selamat tutup buku, selamat membuka lembaran baru. Semoga menjadi tahun yang ringan untuk kamu jalani. Semoga hal-hal baik datang padamu.


Apa kamu tau?

Di suatu keadaan, aku pernah tidak ingin kalah, tapi di saat yang sama aku juga tidak mungkin bisa menang. Aku jahat, mungkin aku cukup pantas untuk kamu sebut pecundang. Tapi yang kamu harus tau. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk aku menelan mentah-mentah semua yang pernah ada di antara aku dan kamu. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk aku meratapi, menangisi, mengenang, bahkan menerima duniaku yang tidak akan ada kamu lagi di dalamnya.


Aku pernah percaya, sepanjang aku hidup aku hanya butuh cintamu, tapi aku keliru, ternyata aku juga butuh dicintai orang tuamu. Dan aku pergi bukan karena aku takut akan kalah, melainkan karena tidak mungkin aku menang. Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini, kita tak lain hanya sepenggal cerita dari kisah yang tergelar panjangnya. Dan aku percaya perpisahan ini hanyalah cara Tuhan menyelamatkan kita dari kecewa yang berkepanjangan.


Terima kasih pernah menaruhku lama di hatimu. Maaf jika pernah banyak merepotkan. Semoga saat waktu temu tiba nanti, kita sudah menjadi diri kita yang baru, yang sudah berdamai dan mampu menerima bahwa di luar sana ada lebih banyak kebahagiaan yang bisa kita terima daripada hanya menangisi perpisahan kita.

Pada sebuah pamit, bahuku pernah basah oleh derasnya air matamu. Tangisan yang sejadi-jadinya itu, masih mampu aku dekap meski seadanya. Malam tenang kala itu yang berbanding terbalik dengan gemuruh di dadaku. Tidak ada kata-kata, hanya air mata yang berbicara. Ku tepuk pundak lelahmu dengan mulut menguatkan "Sudah tidak apa-apa, lagi pula kita masih bisa bertukar kabar. Toh, dibandingkan dengan mimpi besarmu jarak dan waktu bukan apa-apa, semua akan terbayar lunas pada akhirnya."


Padahal jika boleh jujur, aku lebih ingin menyampaikan lirih pada telingamu "Jangan pergi, di sini saja. Berbagi hari bersamaku. Kita raih bersama-sama mimpi-mimpi kita." Hanya saja tidak bisa ku sampaikan. Sebab aku cukup mengerti, orang yang biasa menguatkanku saat ini lebih butuh dikuatkan.


Aku tidak tau apa yang sedang terjadi di langit, Tuhan lebih suka mendengar yang mana di antara doa yang lamat-lamat setiap subuh ku semogakan atau riuh suara ombak di kepalaku yang setiap saat takut kehilangan.


Namun yang terjadi di bumi adalah,

Jarak tidak bisa dipercaya,

Dan waktu tidak punya jawaban.

Akhirnya aku kehilangan~

Tanpa alasan, tanpa penjelasan.


Terlepas dari banyak hal yang melahirkan kebencian. Ada satu hal hebat yang ingin aku terima kasihkan padamu.


Adalah 'Kebaikan' yang kamu pernah tanamkan sepenuhnya di dadaku, perlahan-lahan melebur ke dalam kepalaku, mengubah pola pikirku, sudut pandangku tentang banyak hal, bagaimana caraku mencari jalan keluar dalam setiap masalah dan tentu saja, aku juga belajar bagaimana cara merindukan dengan benar.


Kebaikan itu ku rasa lahir dari sebuah ketulusan yang terbentuk dari kasih yang ikhlas dan kisah yang tak mudah. Sehingga yang ku terima dan ku resap setelah kau tinggal adalah pelajaran panjang mencari arti kemelekatan jiwaku pada sesuatu yang kadung ku anggap tumpuan dalam segala hal.


Dari kebaikan itu, lahir sebuah alasan untuk aku dulu ingin mengejarmu, mencintaimu, mempertahankanmu, mengabaikan segala hal selain dirimu.


Oleh karena kebaikan itu juga, akhirnya aku berhenti mengejarmu, berhenti mencintaimu, belajar mengikhlaskanmu, belajar untuk lebih mendengarkan diriku sendiri.


Dan dari kebaikan itu pula, aku menemukan, cara terbenar merindukanmu adalah dengan cara: berhenti merindukan.


Senja yang akhirnya menjumpakan lagi mataku pada sosokmu, di jalanan raya yang sesak nan angkuh, aku tertawan bias cahaya pendaran wajahmu yang memaksa masuk melalui indra pandangku, hingga buram segala arah, namun dari banyaknya entitas yang tampak, kesadaranku hanya mampu mewujudkan gambarmu sebagai satu-satunya cahaya paling terang. 


Dan pandanganmu adalah percikan kecil yang memantik bom waktu di kepalaku, meledak dalam skala yang tak terhingga sampai-sampai kepalaku terbakar hebat.


Tanpa sadar ledakan itu telah melemparku jauh ke belakang. Menyusuri alam ruang dan waktu, di saat bersamaan aku memunguti satu persatu potongan-potongan rekam kebersamaan kita dari masa ke masa. Membawaku menelaah kembali tiap-tiap garis persinggungan kita di perjalanan.


Ada saatnya aku pernah menunggu kabarmu berhari-hari, itu saat hubungan kita di ujung penghabisan, hatiku mungkin juga hatimu sudah pada batasnya. Hanya yang membedakan adalah, aku ingin terus membersamaimu, namun di lain sisi kamu ingin menyudahi semuanya. Hingga keberadaanmu sulit ku raba.


Sebelumnya tidak pernah sesulit ini menemukanmu. Tetapi entah mengapa tanpa tanda kamu tiba-tiba menghilang, mendadak kabarmu sulit kudapatkan, seolah membiarkan diri di telan bumi, seolah memang sengaja menghindariku.


Iya,


Akhirnya aku memang harus melepasmu, meski dengan sebisaku, meski dengan perasaan yang aku ikhlas-ikhlaskan, meski dengan doa baik yang tersimpul dalam tangisan. Yang dipisahkan Tuhan, tidak akan bisa disatukan oleh manusia.


Saat ini aku sudah menemukan bahagia itu, pada seorang perempuan yang begitu menghargai kehadiranku. Dan kamu... Kamu sepertinya juga sudah menemukan yang kamu cari. Pada sosok laki-laki yang memboncengmu sore tadi.


Kamu sudah bahagia, kan? Iya, setidaknya dari mataku terlihat begitu.


Tapi kamu tau, tadi aku melihatmu. Setelah sekian lamanya, yang bahkan aku yang kemarin-kemarin tidak lagi mengingatmu. Bisa-bisanya berpapasan menjadikan semua yang aku tata rapi jadi berantakan.


Tapi tidak apa-apa, aku masih ingat denganmu bukan berarti masih cinta, bukan berarti pula aku ingin memintamu kembali untuk menghadirkan rasa yang sama. Pada akhirnya dengan perlahan aku akan bisa melupakanmu sepenuhnya, meski pelan-pelan semua akan kembali baik seperti dulu kala, dengan tanpa kusadari pada akhirnya semua akan hilang tanpa sisa.


Dan semoga saat suatu hari aku melihatmu lagi, aku bisa memandangmu dengan penuh rasa syukur tanpa ada lagi sesak yang ku sembunyikan di balik senyum basa-basi. Faktanya memang kita pernah berjuang bersama untuk kata bahagia, meski pada akhirnya tidak pada diriku dan dirimu, kebahagiaan yang kita cari.

Ada begitu banyak kebahagiaan yang tidak bisa kamu ramu jadi penawar sesal. Banyak kesempatan bisa kamu ambil namun tidak ada satu pun kerja kerasmu yang bisa membeli kembali waktu. Selalu ada tempat-tempat baru yang bisa kamu tangkap dengan mata, untuk kemudian boleh kamu simpan itu di atas kenanganmu yang lama.

Akan selalu ada intropeksi baru dari peristiwa yang mengantarmu pada keterpurukan. Tidak sedikit pula yang dapat kamu petik dari kisah keteladanan orang-orang yang baru kamu temui. Ada banyak tawa yang bisa kamu ambil dan sebarkan dari dan kepada sesamamu. Hal yang tidak mungkin tapi orang terdekatmu mempercayainya itulah anugerah. Tidak terkecuali, kelak akan ada banyak ketakukan-ketakutan baru akibat kehilangan hal-hal baik dalam hidupmu.

Ada yang akan mudah kamu lupakan oleh karena kamu akhiri dengan rasa benci, ada yang akan tetap melekat walau kamu coba seribu kali melupakan, adalah yang sekarang kamu namai penyesalan. Kehadiran seseorang akan terasa singkat setelah kamu terlambat menyadari betapa berharganya ia sampai kamu tau dia sudah pergi, akan terasa lama ketika tidak ada cinta dan keikhlasan sepanjang menjalaninya, namun lebih dari itu, yang abu-abu adalah kemampuan kita meraba kesalahan kita sendiri.

Ada batasan untuk; selama, sejauh dan sedalam mana kita mampu menyimpan ingatan, juga betapa sebuah ingatan mempunyai masa, untuk kelak kita tau bahwa sebuah ingatan juga bisa memberatkan langkah.

Termasuk kenaifan manusia adalah ia merasa mampu mengontrol sepenuhnya tubuh mereka, seolah merasa bahwa dia paling tau atas dirinya sendiri. Sampai-sampai lupa bahwa melupakan sesuatu yang terlanjur melekat adalah di luar kemampuan manusia.

Hari berganti, usia bertambah, waktu terus berjalan, manusia berkembang, memungkinkan seseorang untuk berubah; cara pandangnya, pengetahuannya dan pengalamannya. Namun ada satu hal yang tidak pernah berubah bobot dan kedudukannya, adalah ingatan tentang penyesalan.

Ku kira kamu sudah belajar dari kehilangan sebelumnya, kehilangan yang berhasil memberi luka trauma pada hatimu. Ku kira akan mudah menyatukan mimpi dengan seseorang yang hatinya pernah kecewa. Ternyata salah, aku hanya terlalu naif menganggap diriku bisa selamanya menjadi satu-satunya. Ternyata aku harus meminta maaf kembali kepada diriku sendiri sebab telah ingkar janji untuk tidak patah lagi.


Pada sebuah hubungan, kejujuran adalah sesuatu yang masih ku anggap sakral, aku ingin mendasari setiap ucapan dan perbuatanku dengan kejujuran itu. Terlebih aku tau, kita pernah sama-sama kecewa karenanya. Dan aku tidak ingin tertikam untuk kedua kali olehnya.


Ku pikir seharusnya kita sudah ada di titik "serius atau kita akhiri semua angan-angan tentang masa depan". Agar tidak ada bagiku penyesalan telah menyia-nyiakan waktu untuk berkomitmen dengan manusia yang bahkan di kepalanya tidak mengerti arti kesetiaan.


Aku setuju manusia berhak berubah, meskipun barangkali terlebih dulu harus melalui proses salah arah. Namun kali ini berbeda, perubahanmu tidak mengarah pada benar atau salah. Melainkan buram yang kemudian sulit untuk ku temukan benang merah.


Kita seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Aku di posisi yang jadi, kamu yang sembunyi. Aku menjaga benteng dengan sekuat tenaga, kamu malah bersembunyi dengan seseorang di balik kolom-kolom pesan singkat bernada mesra.


Kalau sudah begini apa gunanya aku berteriak kamu salah, jika kamu sendiri menganggap yang kamu lakukan sudah benar? Dulu aku pernah mengira, untukku kelak kamu bisa menjadi matahari yang cerah, ternyata hanya lilin redup yang tidak punya nyali untuk terbakar.


Jujur aku kecewa, tapi di saat yang sama aku lega. Setidaknya menurutku aku sudah mencintai dengan cara yang benar, hanya sayang, aku memberikannya kepada orang yang salah.

Menjelajah sore naik motor, mendengar lagu di earphone, naik sepeda siang-siang, menulis di buku catatan, membuka album lama, semua hal-hal kecil itu, justru kini jadi jadwal kapan aku harus mengingatmu. Betapa keanehan ini membuatku repot sendiri. Sesuatu yang seharusnya bisa aku simpan sendiri untuk aku syukuri sebagai sebuah nikmat, nyatanya malah menjadi potensi terbesar untuk menjadikan hatiku kembali patah setiap saat. Tapi terlepas dari itu, kamu memang pantas untuk aku ingat.


Apakah selama bersemayam di dalam semesta ingatku, kamu bahagia? Sudah cukup baikkah caraku merawatmu di kepalaku? Jika tidak keberatan kamu boleh tinggal di situ selamanya. Aku akan bangga menyimpanmu sebagai satu-satunya piala.


Tapi, jika aku boleh jujur, meskipun aku bahagia memilikimu dalam diriku, sisi lain dari hatiku berdarah-darah, sebagian diriku yang lain ingin kamu enyah.


Aku sering disodori pertanyaan-pertanyaan yang nihil kutemukan jawabannya.


Kenapa di saat kita sudah memilih untuk sendiri-sendiri namun aku serasa masih diikuti? Bukankah kenangan harusnya ikut melebur bersama perasaan yang telah gugur terkubur?


Dunia tercipta tersusun dari gugusan-gugusan kecil yang saling mengisi dan menyempurnakan. Asal-usul suatu yang ada membawa alasan sesuatu yang lain untuk ada. Begitu juga aku dan kamu, jika bukan aku orangnya yang menjadi alasanmu ada, maka ada orang lain yang memang terlahir segugus dengan alasan terciptanya dirimu.


Kamu akan selalu harum dalam ingatan, terima kasih sudah memberiku kenangan manis. Setidaknya aku jadi mengerti bahwa masa kemarinku tidaklah sia-sia. Meski begitu, ada hari esok yang menunggu untuk aku isi dengan bahagia. Doakan aku semoga bisa membuatnya lebih indah. Semoga senantiasa kepadamu pula hal-hal baik dilimpahkan.




Anda adalah lelaki paling beruntung di dunia, sepanjang saya hidup, setahu saya cuma anda. Bagaimana tidak? Sebentar lagi anda akan menyanding perempuan paling istimewa di dunia.


Anda harus tahu, perempuan yang sebentar lagi menjadi sepenuhnya milik anda itu adalah perempuan yang amat tangguh, perempuan yang tak akan tumbang dilanda coba, tak jatuh ditimpa sepi. Dia adalah perempuan yang bisa membelah dada laki-laki mana pun kalau dia mau. Dia adalah perempuan berkemauan tinggi, yang tak lantas menyerah sebelum inginnya jadi kenyataan. Namun, kadangkala dia juga bisa menjadi perempuan ceroboh, dia bisa begitu mudah percaya dengan kata-kata anda.


Dia adalah perempuan pemaaf yang meski berapa kali pun anda sakiti dia masih mampu tersenyum. Dia juga perempuan yang bijaksana, ia bisa menyembunyikan rasa bencinya kepada seseorang ketika dia sedang tidak suka. Dia juga bukan perempuan yang mudah marah ketika melihat anda melakukan salah. Dia pemaaf meski mungkin tidak lupa.


Barangkali ini sedikit mengganggu pikiran atau mungkin menjadikan anda janggal. Tentang siapa saya, apa tujuan saya, terlebih bagaimana saya mengerti semuanya? Menurutku itu tidak lagi menjadi penting, sebab yang terpenting sekarang adalah anda harus mencintainya dengan benar. Karena meski kadang ia terlihat keras seperti batu sebenarnya dia mudah terkikis. Dia amat peka, dia detil, dia tidak segan mengomentari baju yang anda kenakan jika memang tidak sesuai, dia bisa sangat mengingat bau parfum anda, dia tahu merk shampo yang anda pakai hanya dari mencium aroma rambut anda. Dia rentan, dia mudah tergores ucapan anda. Dari itu perhatikan kata-kata anda sebelum diucapkan kepadanya.


Dia adalah perempuan pengasih, ia mudah iba kepada sesama, ia bukan tipe perempuan yang senang anda ajak makan di restoran mewah atau di caffe mahal. Ia akan lebih senang jika anda mengajaknya ke warung kaki lima yang sepi.


Dia adalah perempuan yang memberi ruang luas untuk mimpi-mimpinya, perempuan yang tak segan memberi kebebasan kepada anda untuk menikmati hari-hari anda sebagai manusia, perempuan yang tidak akan menuntut anda untuk harus selalu ada, perempuan yang lebih memilih menghabiskan waktunya untuk belajar daripada harus dihabiskan untuk meladeni pertanyaan template laki-laki (sedang apa? atau sudah makan apa belum?)


Saya rasa dalam mencintai perempuan teristimewa itu anda memang harus mengerahkan segala kemampuan anda, dia adalah tipikal perempuan yang membayar lunas segala hal. Anda memberinya bahagia, kelak dia akan memberi anda seluruh hidupnya. Saya tidak ingin anda mengecewakannya. Ada beberapa hal yang harus anda tahu, bukan suatu hal yang sebenarnya wajib untuk anda imani, tapi hal ini mungkin bisa membantu anda. Saya bukan yang paling tahu, tapi barangkali dari apa yang saya bicarakan beberada ada yang sudah anda mengerti.


Dia tidak suka soda, maka jangan sekali-kali anda memberinya sprite atau coca-cola.

Dia suka pantai, dia juga suka gunung. Sesekali jika anda senggang ajaklah dia ke pantai atau ke gunung.

Dia suka sambal, tapi dia tidak tahan pedasnya, jika mengajaknya makan bakso jangan bolehkan dia menambahkan sambal ke mangkoknya, sekalipun dia marah.

Dia suka rayuan, peras otak anda, buat rayuan termanis untuk dia sekalipun rayuan anda barangkali terdengar norak. Saya berani bertaruh dia tidak akan berkomentar buruk tentang rayuan anda.


Dia suka membaca novel, dia suka melihat drama korea, dia suka mendengar lagu-lagu Sheila On 7, dia suka berlama-lama bicara di telepon saat menjelang tidur, dia suka roti canai, dia suka coklat.


Dia mudah tertawa saat mendengar cerita-cerita lucu, sesekali mainkan gitar dan bernyanyilah untuknya. Dia suka kejutan, beri dia hadiah untuk apa-apa yang berhasil ia capai dalam karirnya, atau setidaknya berikan itu di hari-hari spesialnya.


Dia sangat mencintai kedua orang tuanya, terlebih ayahnya. Jangan sampai anda mengecewakan orang tuanya dengan cara menyakiti dia. Apapun yang anda lakukan, di manapun anda berada, jangan pernah sekalipun tidak memberi kabar kepadanya, sekalipun bahkan dia tidak bertanya anda sedang di mana. Tetaplah jadi nyaman untuk setiap hal yang cukup menjadikannya khawatir.


Di matanya mungkin anda bukan yang terbaik sebagai pendampingnya saat ini, tapi bukan berarti anda tidak bisa mengubah persepsinya tentang anda. Mungkin anda juga bukan yang dia mau sebagai teman berbagi kisah dalam kebersamaan selamanya, tapi bukan berarti anda tidak bisa menjadi yang bisa menemaninya sepanjang usia. Menurutku justru hanya anda lah satu-satunya yang terbenar di posisi anda saat ini untuk membahagiakan dia. Anda memperoleh segalanya, terutama waktu dan kesempatan, sesuatu yang sayangnya sudah tidak bisa saya dapatkan kembali.


Dua tahun dia bersama saya, tidak pernah sekalipun saya memarahinya, saya harap anda juga mengasihinya dengan baik, sebagaimana anda mengasihi kedua orang tua anda. Anda harus tahu, dia adalah satu-satunya matahari di semesta hidup saya. Jangan sakiti dia, jangan kecewakan dia. Cukuplah air matanya menjadi yang terakhir kali mengalir saat saya berpamit pergi, selebihnya adalah tugas anda untuk melukis senyum pada bibirnya.


Terakhir, genggamlah tangannya saat anda mengajaknya jalan-jalan, dia adalah satu-satunya wanita yang masih menganggap puncak dari rasa cinta seseorang adalah saat dia  mampu mengganggam tangan kekasihnya di tengah-tengah keramaian.


Selamat berbahagia. Do'a baik saya akan selalu menyertai kebahagiaan anda.


Saat membaca ini mungkin saja kamu sedang takut dengan kekasihmu. Barangkali takut jika ketahuan kemudian kamu membaca ini melalui ponsel temanmu. Takut itu wajar tapi aku salut untuk usahamu, karena sampai detik keyboard di hp-ku berpacu menulis tulisan ini rasa di hatiku masih sama--masih sering memikirkan kamu.


Dari mulai kamu yang masih sering datang ke mimpiku, kamu yang masih membuatku de javu saat melewati jalan yang dulu pernah kita lewati berdua, sampai kamu yang tidak pernah aku lupa; betapa kamu tidak suka minuman soda.


Naik bus di hari siang menjelang sore sepulang kerja, melihat ruas-ruas jalan dari jendela bus, atau deretan pertokoan juga rumah-rumah yang terlewat seperti sebuah kolase foto yang diputar dengan cepat hingga mengaburkan pandanganmu.


Aku adalah orang yang berdiri di seruas jalan yang kau lewati. Aku adalah orang yang berharap di tempat aku berdiri, kamu berhenti. Tapi kamu tahu kemana tujuanmu. Tujuanmu masih jauh, bukan di titik aku berdiri.


Kita tidak berharap kelak akan seperti ini, namun di cerita yang kita pilih cinta tidak mempertemukan kita pada kebahagiaan. Aku pamit dari penantian, bukan karena lelah, melainkan tahu bahwa tujuanmu bukan aku. Aku ikhlaskan begitu, barangkali kita memang lebih baik yang begini. 

Itu adalah ceritaku di hari rabu. Hari itu aku pergi naik bus (omprengan) antar kota, dari Ngemplak Kidul menuju Pati Kota. Tidak sendirian, saya mengajak dia, dia temanku, namanya Rosyad, aku lebih akrab memanggilnya Bang Syad. Dia bangga dengan panggilan itu, buktinya sampai dibikin nickname facebook juga. Seperti dia memang lebih suka dipanggil begitu daripada nama aslinya.


Meski panggilannya terdengar rada brengsek tapi sebenarnya dia baik, dia sering menemaniku kemana-mana, termasuk pernah bantu memperbaiki pintu konterku yang rusak, menata tata ruang konter, pernah bantu edit foto juga waktu aku ada job foto engagement tapi males ngedit, aku serahkan sama dia dan masih banyak hal-hal lain yang tidak cukup kalau aku tulis satu-satu. Intinya dia lebih seperti asisten pribadiku ketimbang sebagai teman, meskipun sebenarnya kami tidak lebih dari teman biasa.


Hari itu saya ajak dia ke Pati Kota. FYI, Pati adalah nama sebuah kabupaten yang lumayan besar di Jawa Tengah, pusat Kotanya ada di Pati Kota. Dimana di sana terdapat banyak toko-toko besar dan pusat perbelanjaan. Aku pribadi sering ke sana, khususnya untuk mencari sparepart untuk HP servisan yang masuk ke konter.


Dari tempat tinggalku ke Pati Kota jaraknya lumayan jauh, kalau lalu lintas lagi bagus naik motor makan waktu sekitar 30 menitan, habis bensin 1 liter (menurut perkiraanku yang tidak bisa dipertanggungjawabkan). Tapi kalau naik bus makan waktu kurang lebih sampai 40 menit, tergantung supirnya. Kalau supirnya berjiwa Dominic Toretto mungkin nggak sampai 40 menit.


Biasanya sih aku suka riding motorcycle and singing a lot of song along the way, tapi karena akhir-akhir ini cuaca tidak menentu aku jadi lebih memilih naik bus supaya terhindar dari hujan air. Lagipula kalaupun tidak hujan setidaknya aku terhindar dari terik matahari, lalu lintas yang semrawut dan tentu saja terhindar dari polisi serta polusi sisa pembuangan knalpot kendaraan yang tidak baik untuk paru-paru.


"Yakin nih kita naik bus?" Tanya Bang Syad dengan pose jongkok dipinggir jalan sembari menunggu bus antar-kota lewat, dia seperti masih tidak percaya kalau akan aku ajak naik bus, karena memang biasanya kalau sama dia aku naik motor.


"Capek kalau naik motor, naik bus sekali-sekali biar nggak capek" Jawabku sambil celingukan ke arah datangnya bus untuk memastikan adakah bus yang sudah terlihat dari kejauhan.


Suasana jalan Pati-Tayu pagi itu cukup lengang, lumayan bersahabat untuk para pengguna sepeda motor. Beberapa bentor (becak motor) dari arah pasar menuju perempatan Ngemplak Kidul terlihat beberapa kali berseliweran. Semenjak awal 2020 pasca masuknya Covid-19 menjadi pandemic global jalan-jalan besar jadi terasa sepi, sekolah-sekolah jadi online, pabrik-pabrik beberapa ada yang melalukan pemangkasan karyawan, bukan rambutnya yang dipangkas, melainkan status pekerja-nya. Menjadikan kendaraan umum seperti bus jadi semakin langka. Biasanya setiap 5 menit sekali pasti ada bus lewat, aku sedari tadi menunggu setidaknya sudah 15 menit belum ada satupun yang nongol.


"Nanti baliknya ngebis lagi dong?" Bang Syad bertanya lagi setelah menyedot batang rokoknya yang tinggal satu sedotan sebelum akhirnya ia hempaskan puntungnya ke tanah.


Aku jelaskan kepada dia, bahwa memang begitulah rencananya, berangkat naik bus, pulang juga naik bus. Kecuali kalau-kalau ada Son-Goku yang sedang muter-muter di langit pakai awan Kinton lagi gabut kemudian ngasih kita tumpangan pulang, lain lagi ceritanya, nggak baik nolak rejeki, pamali.


Aku menjelaskan sambil jongkok di pinggir jalan mengimbangi pose Bang Syad supaya terlihat seperti sepasang primata pemberani yang sedang menunggu dilempari pisang. Aw~


Setelah sekian purnama merindu, datang juga yang kita tunggu-tunggu. Bus dua pintu warna kuning mirip Lani temannya Tayo dalam serial film kartun anak-anak 'Hey Tayo' datang samar-samar dari kejauhan, menembus lalu lintas yang ragu-ragu pagi itu.


Tidak lama kemudian bapak bertopi hitam memakai kaos salah satu brand rokok bercukai dalam negeri turun dari bus kemudian menyuruh kami naik, rupanya beliau adalah kernet bus itu. Dugaanku benar. Yang mengira dia adalah bapak-bapak gabut adalah bodoh, nyatanya bapak itu sedang bekerja, sebagai kernet bus.



"Naik dek!" Katanya.


Yang dimaksudkan bapak kernet adalah kami berdua disuruh untuk segera masuk ke dalam bus. Seketika karena bapak kernet itu bilang "Naik dek" aku jadi ingat Negara India, dari beberapa referensi gambar yang aku temui di internet; bus di negara kelahiran Shah Rukh Khan itu seperti selalu penuh penumpang, sampai berhamburan ke atap bus.


Untungnya aku dan Bang Syad cukup mengerti bahwa kata 'Naik dek' yang diucapkan bapak kernet tidak bermaksud untuk mempersilahkan kami berdua naik kemudian duduk di atap bus. Melainkan masuk ke dalam dan duduk manis sembari menunggu sampai di tujuan. Begitu banyak referensi yang ada di kepalaku namun entah mengapa yang aku ingat saat itu adalah negara India. Ah, aku malah jadi teringat parodi lagu it's my life yang dinyanyikan mas-mas cungkring berkumis aneh dari India di TikTok hehe


Salah satu usaha Bung Karno di masa orde lama dalam memberantas buta huruf ku kira benar-benar terasa saat ini, setidaknya karena jasa beliau aku jadi mengerti bahwa setiap perkataan tidak harus selalu dimaknai secara tekstual, dibutuhkan pemahaman serta kontekstualisasi yang tepat dalam menguraikan makna sebuah ucapan.


Sampai mana tadi? Kok malah ngelantur kemana-mana. Oiya, sampai 'naik dek'.


Kami tidak menjawab satu pun kalimat dari ucapan pak kernet tersebut, karena kami cukup mengerti bahwa itu bukan sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Kami hanya bergerak masuk ke dalam bus kemudian membenamkan diri disitu, di kursi panjang bus paling belakang, bersama juga penumpang lain yang tidak aku tau latar belakang dan apa tujuannya naik bus ini. Yang pasti, setiap dari mereka punya tujuan.


Bus melaju dengan kencang memotong ruang dan waktu, angin sepoi-sepoi yang berasal dari pintu belakang membuatku terlena dalam kenyamanan, seolah seperti begitu alami. Sesekali bus berhenti menjemput penumpang. Seorang wanita paruh baya naik, ia terlihat seperti menjinjing keranjang lumayan besar berisi belanjaan. Sementara wanita itu mengambil kursi duduknya, bus kembali melaju tanpa ampun seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu.


Dari pintu depan terlihat bapak kernet berjalan merambat ke arah belakang, ku dengar beberapa kali Bang Syad mengajakku bicara namun tidak aku respon karena aku fokus pada bapak kernet yang sedang berjalan ke arahku.


Benar saja, bapak kernat menengadahkan tangannya untuk minta uang ongkos kepada bapak tua yang mengenakan baju safari dan celana bahan panjang yang duduk disebelah kiriku.


"Puri..." Ucap bapak itu sambil memberikan satu lembar uang pecahan Rp. 10.000 kepada bapak kernet.


Maksud ucapan beliau mengisyaratkan kalau beliau ingin turun di Halte Puri, yang mana Halte Puri itu letaknya ada di sebelah selatan Pasar Puri, tepatnya sebelah timur perempatan besar jalan Ronggo Warsito.


Tampak pak kernet menyimpan uang itu tanpa memberi kembalian sambil menganggukkan kepalanya tanda bahwa beliau sudah paham atau mengerti yang diinginkan bapak disebelahku.


Tiba pada giliranku, bapak kernet menengadahkan tangan meminta ongkos padaku. Bang Syad menatap ke arahku, aku menganggukkan kepala tanda bahwa aku mengerti ongkosnya aku yang bayar. Aku keluarkan uang pecahan Rp. 20.000 dari dalam waist bag kecil yang selalu terkalung dileherku. Namun sebelum aku berikan uangnya pada bapak kernet aku lebih dulu mengambil kertas nota dan bolpoint yang ada di dalam tas.


Di atas kertas nota itu aku menulis dengan memakai huruf kapital.



HALTE YAIK...


Bapak kernet mengangguk, tanda dia mengerti bahwa aku ingin turun di Halte Yaik yang letaknya berada disebelah timur pertigaan besar dekat taman kota 2 atau taman kota baru. Bapak kernet memandangiku dengan seksama kemudian menyimpan uang yang ku beri, ia tampak seperti akan memberi kembalian padaku, namun sebelum bapak kernet memberikan uang kembaliannya kepadaku, dengan segera aku menulis lagi di atas kertas nota yang tadi.



KEMBALIANNYA BUAT BAPAK SAJA. SEMOGA JADI BERKAH~


Bapak kernet yang tadinya mau memberikan dua lembar uang kertas Rp. 2.000 lantas mengembalikan uang itu ke dalam susunan uang ditangannya sambil  menangkupkan kedua tangannya sambil tersenyum persis seperti posisi orang bukan muhrim yang sedang minta maaf saat hari raya idul fitri, sebuah isyarat bahwa beliau berterimakasih kepadaku. Aku cuma membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum kecil. Bang Syad dan bapak berbaju safari di sebelahku mulai menatap ke arahku dengan tatapan seperti orang bingung.


Detik selanjutnya aku hanya melihat dari belakang, bapak kernet yang sedang meminta ongkos kepada penumpang lain. Disamping itu bus masih terus melaju, sesekali juga berhenti untuk mengambil penumpang, melaju lagi dan kemudian berhenti kembali, hal itu berulang-ulang secara sporadis sebelum akhirnya tempat tujuan kami sudah nampak dari kejauhan.


Bapak kernet berlari kecil dari shofa ke marwa, tentu tidak dong, lebih tepatnya dari pintu depan ke belakang hanya untuk ingin memberitahu kami bahwa sebentar lagi bus sampai di Halte Yaik. Sebenarnya aku dan Bang Syad sudah tau hanya saja kami melihat itu sebagai bentuk perhatian dari bapak kernet kepada kami, untuk itu aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.


Begitu bus berhenti di traffic light atau lampu merah yang tempatnya berada persis sebelum Halte Yaik, aku mengisyaratkan kepada bapak kernet untuk diturunkan disini saja. Kemudian dengan senang hati bapak kernet mempersilahkan kami untuk turun.


Kebetulan saja sesaat setelah kami turun lampu merah berganti hijau, itu tandanya bus harus segera bergegas. Sebelum bus lanjut berjalan, bapak kernet mengucapkan sebuah pesan kepada kami "Hati-hati mas" ucap beliau ramah.


Setelah roda bus mulai beranjak aku meletakkan kedua tanganku di kedua sisi kanan dan kiri mulutku, sembari berkata setengah berteriak "Matursuwun, pak. Sampun diterke..." (Terima kasih, pak. Sudah diantar) Ucap saya.


Nampak dari bus yang semakin menjauh, di pintu belakang bus ku dapati bapak kernet melongo dengan wajah kosong yang kemudian setelah itu disusul dengan tawa beliau yang meskipun sudah rada jauh tapi masih terlihat dari tempatku berdiri.


Detik kemudian aku dan Bang Syad berjalan sambil tertawa-tawa. Hari itu adalah hari rabu yang cerah. Kali ini dugaanku salah, ku kira akan ada hujan ternyata tidak. Aku dan Bang Syad tetap begini meskipun lalu lintas hari rabu ramai begitu.


Kejadian di bus barusan bukan aku berniat mengerjai bapak kernet, melainkan aku hanya ingin berbagi senyum kepada bapak kernet yang mungkin bagi sebagian orang dianggap hanya sebatas tukang tarik ongkos. Padahal tidak. Terlepas dari pekerjaannya, dia tetaplah manusia biasa. Punya masalah, punya beban, punya tanggungan, dsb.


Jika yang kamu punya baru sedikit maka berbagilah dengan sedikit yang kamu punya! Jangan ditunggu sampai terkumpul banyak baru berbagi. Karena bisa jadi sebelum terkumpul banyak ajal lebih dulu mendatangi. Jangankan setahun lagi, besok saja kita tidak tau. Wallahu a'lam bis shawab~


Sayang, siapa yang mengajarimu: jika lelah lebih baik menyerah? Itu bukan kamu yang aku kenal, karena kamu yang aku tau bukan yang seperti itu, melainkan (kamu) yang mau menguasai amarah. Jika memang kamu lelah, bersandarlah! Dada sekaligus dekapku masih mampu menjadi wadah seperti kemarin dan yang sudah-sudah. Jangan malah pergi berbalik arah seolah sejarah memang harus diubah.


Aku tahu, dan kamu juga: hubungan kita sedang tidak baik-baik saja. Aku masih denganmu, namun rasanya hampa. Aku masih memilikimu, namun kamu malah tidak yakin hatimu untuk siapa. Aku hanya ingin semuanya kembali baik selagi masih bisa dibicarakan baik-baik. Bukan kamu yang malah memilih pergi tanpa berbisik seolah seperti sengaja meninggalkan titik-titik.


Sayang, bangunlah! Aku tau kamu hanya sedang terjebak dalam sebuah mimpi. Sebuah mimpi yang menurutmu dunia ini akan jadi lebih indah jika aku tidak ada di hidupmu. Melainkan posisiku diisi oleh seseorang yang kamu inginkan saat ini. Bukan pelukku lagi yang kamu yakini mampu meredakan sebentuk gelisah di jiwamu, melainkan dia dengan segala keegoisanmu memang supaya dia-lah pemenang hatimu.


Kamu harus tau, setidaknya sebelum kamu memutuskan untuk memberi jarak untuk kita, bahwa:


Aku punya cinta

Yang tak perlu kau pinta

Ia memberimu segalanya


Aku punya rindu

Yang tak perlu kau tunggu

Ia berpacu dengan waktu


Aku punya rasa

Yang tak perlu kau raba

Ia bersemayam di jiwamu selamanya


Sayang, pada akhirnya kamu hanya akan berputar-putar dan lelah tidak menemukan apa-apa selain memang hanya aku-lah yang paling layak berada di sampingmu. Aku bukannya membela diri, hanya saja untuk agar kamu mengerti bahwa nanti kamu baru akan tau bagaimana rasanya setelah sudah benar-benar kehilanganku.

Waktu itu saya pulang kerja agak malam, setelah saya buka pintu kamar, saya menemukan istri dan anak saya sudah tidur. Sebelumnya saya memang sudah pamit kalau hari ini pulangnya agak malam karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan jadi saya yakin istri saya bisa mengerti itu. Ya, sudah, saya tidak ingin mengganggu waktu istirahat mereka, biar saja begitu, barangkali mereka amat lelah, terutama istri saya.


Saya langsung menuju ruang tengah, menaruh tas dan topi saya di atas meja panjang yang ada di sana (ruang tengah). Kemudian saya duduk di atas kasur lantai menghidupkan televisi sebagaimana yang saya ingat malam ini ada pertandingan sepakbola inggris yang mempertemukan kesebelasan MU melawan rival sekotanya, Manchester City. Sebagaimana yang khalayak sudah mafhum, pertemuan kesebelasan dua kota Manchester itu selalu menarik untuk ditonton, dari segi dramanya, kerasnya dan rivalitas yang terbentuk sejak dahulu hingga waktu ke waktu.


Dahulu Manchester City menjadi yang dikuda hitamkan disebabkan materi pemainnya kurang mumpuni, namun semenjak Seikh Mansour mengakuisisi saham mayoritas klub, The Citizens (julukan Manchester City) menjadi kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak tanggung-tanggung, Manchester City langsung menjadi penantang juara bahkan setiap tahunnya dalam pagelaran liga inggris.


Berbanding terbalik dengan tetangga sekotanya, MU justru mengalami keterpurukan berkepanjangan pasca ditinggal pelatih paling fenomenal yang pernah mereka miliki, Sir Alex Ferguson. Padahal sudah beberapa kali berganti manajer tapi hasil baik pun belum juga terlihat, setidaknya belum ada satu pun piala yang boleh dibawa pulang oleh MU untuk dipajang di rak trophy. Tapi bagaimana pun itu, saya percaya MU masih berproses.


Di tengah keheningan itu sekonyong-konyong pintu kamar terbuka, saya menemukan istri saya keluar dari pintu kamar itu dengan tergopoh-gopoh seperti masih terbawa kantuk. Dia seperti menanyakan apakah saya pulangnya sudah dari tadi atau baru saja yang kemudian saya jawab baru lima menitan yang lalu. Kemudian saya lihat lagi dia seperti sedang menuang air dari teko ke dalam gelas yang kemudian ia minum sampai habis.


"Pertandingan apa lawan apa ini, Mas?" Tanya istriku sambil membiarkan dirinya duduk di atas brabut di sebelah saya. "MU, ya, ini?"


Istriku adalah termasuk orang yang suka dengan MU, dia tidak begitu paham sepakbola, tapi dia suka bentuk emblem MU yang ada gambarnya setan berwarna merah memegang trisula. Selain itu, istriku tidak tau lagi apapun yang menjadi ciri-ciri MU, termasuk siapa pelatih dan pemain-pemainnya. Dia hanya hafal bentuk emblem dan bajunya yang berwarna merah menyala.


"Iya, MU lawan City. Derby Manchester" jawabku sambil masih belum mengalihkan pandangan dari televisi.


"Derby Manchester? Apa maksudnya itu?" Tanya istri saya lagi.


Maklum kalau istri saya tidak tau Derby Manchester, sebab dia bukan pecinta bola. Keberadaannya di samping saya malam ini pun sebenarnya cuma formalitas, semacam hanya ingin menemani saya menonton sepakbola. Dia bertanya karena semata-mata ingin tau saja atau setidaknya setelah mengerti dia akan puas bahwa apa yang dilihatnya bersama saya adalah masuk akal.


"Derby Manchester itu, ya, hampir-hampir mirip sama Derby Romeo, gitu lah" Jawab saya, "Masa gitu aja nggak tau.."


"Oh, jadi Derby Manchester itu nama orang, ya?" Tanya istri saya lagi dengan begitu polosnya.


"Ya, betul, lebih tepatnya nama bapak itu..." Jawab saya sambil menunjuk ke arah televisi yang kebetulan waktu itu kamera sedang menyorot pelatih MU yang tidak lain tidak bukan adalah Ole Gunnar Solskjaer, bukan Derby Manchester. "Yang pakai jaket hitam.." lanjut saya.


Istri saya mengangguk sebagai tanda dia mengerti meskipun faktanya bukan itu jawaban yang sebenarnya. Tapi kemudian tidak lama dari itu istri saya bertanya lagi kepada saya tentang apa hubungan pertandingan malam ini dengan bapak yang berjaket hitam tadi.


Saya jawab dengan penjelasan sedikit njelimet supaya terlihat meyakinkan, bahwa pertandingan yang digelar malam ini adalah laga penghormatan untuk bapak Derby Manchester yang besok mau terbang ke planet venus untuk meneliti apakah spesies ubur-ubur bisa hidup dan berkembang biak dengan baik disana.


Mendengar jawaban saya sontak istri saya melihat muka saya dengan pandangan penuh curiga. Dia mungkin berpikir saya berbohong namun dia seperti yang bodoh amat, meski kenyataannya memang saya ngawur.


Pertandingan berjalan alot sebagaimana yang selalu terjadi setiap kali dua klub Manchester itu bertemu. Keras, ngotot, seperti dalam isi kepala setiap pemain terdapat batu bara yang menyala-nyala, panas. Laga berlangsung begitu cepat, waktu itu MU sudah ketinggalan 2 gol melalui gol bunuh diri Eric Bailly dan satu gol yang dicetak Bernardo Silva. Sebelum akhirnya wasit meniup peluit tanda terjadi pelanggaran oleh Cristiano Ronaldo yang memberikan tekel keras kepada Kevin de Bruyne.


"Aku perhatikan dari tadi wasitnya berat sebelah, ah"


Istri saya tidak terima, dari sudut pandangnya wasit yang memimpin terlalu berpihak kepada Manchester City, tapi menurut saya tidak. Pertandingan berjalan baik, begitupun keputusan wasit saya kira sudah benar. Namun tentu saja istri saya boleh membuat konklusi sendiri, itu semacam reaksi tidak terima karena tim kesukaannya seperti dirugikan keputusan wasit. "Sudah pasti wasitnya dibayar kalau ini mah..." Lanjut istri saya seperti sedang menggerutu kepada dirinya sendiri.


"Ya, dibayar dong dek, kan dia kerja"


"Disuap maksudnya...."


"Oohhh...."


Selanjutnya kami menonton pertandingan itu dengan khusyuk, tapi belum sampai pertandingan selesai, saya minta dibuatkan mie instan oleh istri saya untuk mengisi perut saya yang lapar. Istri saya kemudian bergegas menyeduh air sedang saya masih asyik menonton bola sampai selesai. Sampai peluit tanda akhir pertandingan ditiup wasit, skor masih tidak berubah, MU harus menerima kenyataan pahit harus kalah dari Manchester City untuk yang kesekian kalinya. Berbarengan dengan itu datang istri saya membawa dua mangkuk mie instan, kami memakannya sambil membahas pertandingan yang barusan usai itu sampai-sampai tidak sadar dua mangkuk berisi mie instan itu tiba-tiba sudah hilang saja masuk ke perut.


Setelah minum dan mencuci mangkuk, istri saya segera bergabung ke kamar yang di sana sudah ada saya dan anak saya yang sudah tertidur pulas. Saya berbaring sambil menyiapkan selimut, istri saya juga begitu. Namun sebelum saya benar-benar menemukan kantuk sekonyong-konyong istri saya bertanya.


"Di planet Venus ada Setan kayak di Bumi juga nggak ya, Mas?" Tanya istri saya sambil melingkarkan tangannya memeluk anak saya.


"Hanya Allah yang tau, Dek"


"Pak Derby Manchester juga tau dong kalau, gitu?"


"Nggak tau. Lebih tepatnya belum tau, Kan berangkatnya baru besok..."


"Oiya, ya..."


Saya tidak tau, waktu saya yang saya habiskan bersama keluarga apakah sudah digunakan sebaik mungkin atau belum. Tapi semoga disela-sela kesibukan saya, saya selalu punya waktu untuk memberi apa-apa yang bisa berbuah tawa untuk keluarga kecil saya.


Kemudian yang terjadi di detik-detik selanjutnya adalah istri saya tidur, anak saya tidur, saya tidak. Saya ke WC buang air besar, baru setelah itu kemudian bersih-bersih sebelum akhirnya menyerahkan diri sepenuhnya pada kasur, bantal dan guling.


Kita sudah sampai di ujung, sayangku. Sudah benar-benar ada di ujung. Bukan seperti ujung yang sudah-sudah; yang bisa kita paksa-panjangkan dengan melawan keadaan. Kali ini berbeda, kita memang sudah sampai waktunya untuk saling melepas genggaman.


Ucapkan selamat tinggal terakhir untuk segala hal yang telah menjadi udara yang memberi kesempatan untuk kita bernafas dan bertumbuh dengan baik. Juga kepada ke dua hati kita yang tiada lelah diobrak-abrik.


Aku pernah memimpikan suatu senja bersamamu, berdiri di atas bulir-bulir pasir yang hangat, menghirup udara bebas jauh dari hiruk pikuk penatnya udara jalanan, menikmati hamparan langit yang tampak lelah, menghadap ke laut, merentangkan tangan sembari kita tersenyum berdua. Ya, meski pada Akhirnya harus aku terima itu sebagai hari yang tidak akan pernah datang.


Aku setuju setiap yang mulanya bertemu pasti akan berpisah, tapi entah kenapa menerima untuk berpisah darimu rasanya susah.


Aku setuju setiap yang mulanya berwujud pasti akan hilang, namun entah mengapa aku selalu merasa tidak pernah siap kehilanganmu.


Sayang, aku juga sepertimu (atau bahkan lebih parah). Aku tidak yakin bisa benar-benar menghilangkan setiap apa-apa darimu yang pernah berhasil melukis tawa di wajahku. Semuanya seperti bergerak begitu cepat, walau rasanya seperti baru sesaat. Kenangan-kenangan kemarin kita tiba-tiba menjadi hal yang teramat berharga, obrolan-obrolan kecil kita sebelum tidur yang bahkan entah kenapa justru menjadi sesuatu yang kadangkala ku ingat di saat-saat yang tidak tepat.


Tenang saja cintaku, kamu tidak hancur sendirian, kita hancur bersamaan. Kamu melebur di palung terdalam di jiwaku, menyatu dalam aliran darahku. Sampai detik Tuhan menyesaatkan hubungan kita, aku pastikan; kita hanya akan beda rasa, tapi tetap satu doa. Dan jika memang 'restu' adalah satu-satunya hal yang menjadikan kita berpisah, doaku adalah semoga tidak ada kisah seperti kita lagi pada cinta orang lain.


Dengan berat hati aku tetap harus mengikhlaskanmu, meski itu dengan membohongi diri. 

Previous PostPostingan Lama Beranda