Danang Putra Arifka's

Blog

Bukankah aneh jika Nona yang mengakhiri lantas kemudian Nona bertanya padaku "Semudah itukah melupakanku?"


Hei, bangun Nona! Dunia tidak berputar di sekitarmu saja. Dunia juga berputar di antara para pencopet, begal, buruh pabrik, bahkan sampai pejabat serakah. Tidak terkecuali juga aku. Aku benda hidup Nona, bisa bergerak dan berpikir. Tidak ada manusia yang berpangku tangan selama insting manusia masih bekerja. Kebutuhan dan prioritas adalah panggilan untuk manusia tetap berkarya.


Apakah Nona tau rasanya aku saat Nona tiba-tiba pergi? Apakah Nona tau hancurnya aku ketika Nona menghilang? Jangankan tau rasanya, tanya kabarku saja Nona tidak. Lalu wahyu yang turun dari mana yang membuat Nona yakin bahwa Nona adalah korban dalam kisah ini sehingga bertanya demikian?


Asal Nona tau dan semoga Nona mengerti. Aku menelan bulat-bulat semuanya Nona; Perihnya, Sakitnya, Hancurnya. Betapa sulitnya menjaga diri tetap sadar, tetap waras. Hari-hariku penuh dengan perenungan. Hidupku mendadak berubah seperti filsuf yang kesepian, berkali-kali kutanyakan dalam hati, sebenarnya apa yang salah dari diriku sehingga Nona memilih berpaling pergi.


Berbagai usaha aku lakukan demi menemukan pangkal dari kesedihan ini. Aku mencoba untuk menafikan setitik emosi yang tidak bisa aku kendalikan, pelan-pelan mulai mendengarkan suara dalam diriku yang telah lama ku abaikan. Berharap mendapati lega di ujung sana namun justru acapkali rindu dan rasa kecewa hadir bagai kereta api yang tiada ampun meremukkanku dari depan --Iya, bahkan di sela-sela usahaku melupakan aku masih sempat merindukan Nona.-- Ku ambil sejenak waktu untuk bersandar dari lajunya isi kepalaku untuk kemudian menata langkah untuk kembali maju.


Jika hari ini Nona menemukanku sebagai seseorang yang berbeda, seseorang yang terlihat abai dan cenderung tidak peduli, Artinya aku sudah berhasil mengendalikan diriku, karena aku sudah berdamai dengan semuanya; perihnya, sakitnya, hancurnya. Namun tidak serta merta menjadikan aku manusia yang lupa.


Sampai hari ini aku masih mengingat semuanya Nona, benar-benar semuanya. Kapan pertama kali kita ketemu, kapan tanggal jadian kita, kapan pertama kali Nona memanggilku sayang, kapan pertama kali kita kencan, kapan pertama kali aku main ke rumah Nona, bahkan sampai kapan Nona memalingkan cinta, aku masih ingat semuanya, benar-benar semuanya.


Hanya saja semua yang masih aku ingat itu sudah bukan tentang Nona yang dulu, yang selalu ada di hatiku, yang selalu kurindukan senyumnya, yang selalu kunantikan kabarnya setiap hari. Melainkan yang aku ingat; kita hanya dua orang tidak sempurna yang gagal saling memaklumi kekurangan masing-masing. Entah karena aku yang kurang peka atau entah kamu yang sudah lelah memberi kesempatan.


Dan sekarang harusnya Nona tau bahwa untuk aku sampai pada titik ini itu tidak mudah. Setidaknya tidak semudah Nona bertanya "Semudah itukah melupakanku?" Ku kira begitu.

Katamu ada banyak hal yang layak kita bawa lebih jauh lagi. Setidaknya sedikit lebih jauh dari tempat kita berdiri saat ini. Namun apa yang pantas diperjuangkan di kehidupan yang keji ini? Terlebih hal-hal yang kelak mengubur kita hidup-hidup. Bagaimana jika sejak awal ada seseorang yang tidak kamu kenal tiba-tiba membisikan di telingamu bahwa akan ada masanya kamu akan mencintai seseorang dengan keras namun berakhir tidak bisa hidup bersama. Apakah kamu akan tetap menerimanya? Jika iya kenapa kita masih bersikeras memperjuangkan cinta yang sudah basi ini?


Ini yang kadang aku benci dari berperasaan, aku jadi mudah kalah dari hal-hal sepele; seperti matahari tenggelam, bau porselen tumpah, suara buliran hujan yang memukul genting, bunyi ketel yang mendidih, tetesan air kran yang bocor,  bahkan bau shampo yang melekat di ingatanku kala mencium rambutmu, aku kalah.


Tidakkah berperasaan harusnya memberimu keberanian untuk menerjang, membuatmu kuat di masa-masa tersulit, memberikanmu lampu terang saat gelap datang, seperti nyala strongking di perahu-perahu nelayan di sepanjang garis pantai kala sinar surya lindap dilahap petang.


Aku setuju denganmu bahwa ada banyak hal dari kita yang seharusnya berakhir indah. Namun kita juga sudah cukup dewasa untuk menerima bahwa ada banyak hal dari kita berdua yang tidak mungkin bisa dipaksakan, terlebih diselamatkan. Berulangkali kita telah berusaha untuk berjuang sekali lagi atas dasar cinta, namun tetap saja ujungnya kecewa.


Kamu tau ini, kita mengerti ini. Katamu di dunia tidak ada yang tidak mungkin, selama manusia masih mau berusaha dan berdoa. Lalu usaha apa yang belum kita lakukan, cah ayu? Jika cinta diibaratkan secangkir racun, kita bahkan sudah meminumnya entah sudah habis cangkir yang keberapa. Dan doa? Jika doa bisa dilihat niscaya langit bahkan tidak punya tempat untuk menampung doa kita lagi, Tuhan yang maha mendengar saja barangkali sampai bosan mendengar doa kita yang selalu itu-itu terus.


Kasihku, kita sempurna sebagai sepasang manusia, kita layak bahagia bersama. Tapi kasihku, meski usaha kita telah penuh dan doa kita sampai pada langit, sayangnya bukan itu yang diinginkan ibumu, ibumu ingin lebih dari sekadar langit, ibumu menginginkan Jupiter, sedang doa kita tidak cukup kuat untuk bisa tembus sampai ke sana.


Sayangku, mari bersepakat! Kita berdua adalah sama-sama anak ibu. Tidak perlu mencari siapa penjahat di balik runtuhnya kita. Namun jika dalam sebuah cerita memang harus ada tokoh antagonisnya, maka biar aku saja yang mengambil peran itu. Aku yang salah telah mencintaimu, aku yang keliru telah memposisikan cinta sejajar dengan keimanan. Sehingga ketika datang persoalan restu, aku tidak boleh bermain curang.


Kekasih hatiku, mari saling melupakan tanpa menaruh dendam pada siapa pun. Meski mungkin bagiku butuh waktu selamanya.

Aku ingin dicintai seperti caramu mengeja puisi Chairil Anwar. Lugas dan berapi-api. Bahwa mencintai tidak harus selalu ditunjukkan dengan memberi bunga dan wangi-wangian, kadangkala harus menerjang seperti binatang jalang. Seperti pencinta yang menyamar jadi begal yang menodongkan pisau meminta hatimu.


Aku ingin dicintai seperti caramu memasak nasi goreng di pagi menjelang hujan. Mengiris bumbu dengan perlahan, mulai menyalakan api dan menaruh sedikit minyak goreng di atas wajan, menumis bumbu dan tentu saja dengan banyak sekali cabai yang sudah kamu iris sama panjang. Karena menurutmu nasi goreng harusnya seperti muda-mudi yang sedang bercinta; harus pedas dan panas, bahkan nasi goreng pinggir jalan yang dimasak manis menurutmu adalah sebuah penghinaan bagi dunia kuliner. Ku kira iblis juga setuju jika bahkan kamu bilang nasi goreng harusnya kecut seperti ketek hansip, dan aku juga.


Aku ingin dicintai sebagaimana kedua kakimu berjalan menyusuri lorong menuju kelas, bergantian kiri-kanan, selaras dan seimbang, tegap seperti wanita karir yang tidak ingin melewatkan jam kerjanya terbuang sia-sia hanya untuk membuang senyum basa-basi kepada lelaki-lelaki mata keranjang di pinggir jalanan yang kelewat tengik.


Aku ingin dicintai seperti saat kamu bernyanyi di kamar mandi. Lantang dan lepas, tidak peduli off-tune atau out of tempo, tidak peduli fals atau sumbang. Ku kira dapur rekaman tidak lebih jujur daripada kamar mandi. Di kamar mandi semua orang tampil apa adanya namun percaya diri, sebaliknya, di dapur rekaman semua orang sibuk bersolek menyembunyikan ketakutannya. Dan sepanjang aku hidup bunyi nafasmu masih menjadi lagu favoritku.


Aku ingin dicintai seperti caramu menyukai bunga desember. Sebentuk penantian yang mekar di ujung penghabisan, sebagai penanda tutup buku satu periode penuh, dengan dada disesaki rasa rindu menanti, hingga tumpah ruah seperti jalanan ibu kota senin pagi, atau seperti perut ikan ketika kau belah dengan pisau dapur. Waktu terasa sangat cepat saat kamu sedang bahagia, namun satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu bunga mekar.


Aku ingin dicintai seperti caramu merelakan kepergian seseorang. Selayaknya kesadaran yang lahir dari keikhlasan melepaskan hal baik yang akan jauh lebih baik lagi ketika berjarak. Cinta tidak harus selalu bersama, jika sendiri-sendiri menjadikan masing-masing diri kita jadi lega. Memilih pisah seringkali dianggap keputusan yang terburu-buru, namun tidak ada yang tau bahwa dengan berpisah kita berhenti saling melukai. Kita pun menguap, layaknya garam yang larut dalam kuah soto atau pewangi yang tumpah pada pakaian sebelum digilas setrika panas.


Aku ingin dicintai seperti caramu menikmati hidup, menonton Netflix sepanjang hari, membaca buku-buku filsafat, menyiram bunga yang berjejer di pekarangan rumahmu sambil sesekali menyenyumi setiap semut yang berjalan sopan di dahan pohon mangga. Jujur aku iri melihatmu bahagia, bukan berarti aku tidak ingin melihatmu bahagia, melainkan karena aku sudah tidak bisa lagi menjadi bagian yang membahagiakanmu.

Malam ini aku terbangun, kakiku dikoyak segerombolan nyamuk serupa penyamun. Aku lupa menyalakan anti-nyamuk elektrikku, karena gatal, aku jadi tidak bisa kembali menidurkan kedua mata.


Aku beranjak menuju kamar mandi, mengambil air kemudian membasuh wajahku. Sesekali kulihat wajahku di cermin toilet, masih tampan, masih lebih dari cukup untuk membuatmu jatuh cinta berkali-kali. Gumamku seperti orang bodoh.




Aku membuka lemari es, kutemukan berjejer botol air minum yang terparkir di pintu. Sadar tidak ada yang aku inginkan di dalamnya, aku menutupnya kembali dengan pelan sambil mengangkat pandangan yang tertuju pada jam dinding.


Kudapati jarum jam menunjuk ke arah 2 lebih seperempat, aku duduk sejenak di kursi yang persis hanya berjarak 2 meter dari kamar. Kucium wangi ampo dari luar rumah, barangkali waktu aku tidur tadi turun hujan.


Segala puji bagi Tuhanku, segala keteraturan yang selaras dan harmoni, siang dan malam yang berganti kemudian di tengah-tengahnya turun hujan. Begitu sejuk, begitu menyegarkan, terutama bagi pohon jambu depan rumah yang sedang berusaha merekahkan bunga untuk berbuah.


Jam berapa di surga saat ini? Dari bumi aku masih sering merindukanmu. Masih sering merasakan seperti tertembus peluru panas di ulu hati setiap kali mengingatmu. Aku seperti baru jatuh dari atas sepedaku kemarin sore, belum sampai mengumpulkan niat untuk berdiri dan mulai mengayuh lagi, tiba-tiba aku sudah kehilanganmu, secepat itu.


Mungkinkah hidup memang hanya sekadar untuk menitipkan memori di kepala orang lain? Kukira tidak, dengan kenyataan kamu tidak hanya sekadar mampir, tapi menancap dalam, seperti terpaku sempurna di kepalaku. Aku yang selalu kalut setiap kali merindukanmu, tidak tau harus berbuat apa selain melangitkan doa. Aku tidak ingin doa baik dariku kembali padaku, melainkan aku hanya ingin semua hal baik sampai padamu. Jika ada kebaikan lahir dariku oleh sesuatu yang pernah diajarkan olehmu, semoga ditulis sebagai catatan baik untukmu.


Maaf, aku hanya bisa merindu. Segala cinta telah larut dalam kepasrahan. Kecintaanku padamu kurasa sama dengan rasa cintaku pada Tuhanku. Dan karena itu Tuhan pasti menjagamu, bahkan lebih baik dari yang pernah aku lakukan. Aku punya keyakinan, Tuhan tidak mengambilmu dariku, melainkan ia hanya menciptakan jarak antara kita, supaya kita bisa merasakan betapa nikmatnya dirindukan.


Peluk hangat dariku,

Kekasihmu yang ada di Bumi.




Hei, Mira. Maaf merahasiakanmu selama ini. Aku sama sekali belum pernah mengunggah fotomu, bukan berarti aku tidak sayang, hanya saja acapkali aku merasa bahwa tidak elok rasanya potretmu dijamah ratusan mata di luar sana. Bukan juga artinya aku menyembunyikan keberadaanmu, aku hanya menjagamu dengan caraku. Kamu mengerti, kan?


Aku bangga memilikimu sebagai yang pertama, meski bagimu aku bukan yang pertama. Namun, sedikit pun itu tidak mengurangi bahagiaku. Wujudmu lebih dari doa-doa yang kulangitkan.


Kamu tidak sempurna, aku tau, aku menerima semuanya. Karena sekurang-kurangnya kamu ialah sempurna yang aku inginkan. Aku tidak berjanji bisa menyembuhkan luka dari masalalumu, tapi aku berjanji akan mencintaimu lebih keras.


Mira, menggemaskan rasanya jika diingat kembali. Bagaimana aku harus memotong jarak Pati-Surabaya untuk menemuimu. Lebih dari lintas kota, cinta kita antar-provinsi. Dengan penuh debar, dadaku sesak sepanjang perjalanan bus patas membawaku kepadamu.


Sebelum aku akhiri tulisan ini, aku ingin mengucapkan kepadamu; Terima kasih telah menjelma jadi "iya" atas kesemogaanku. Aku bangga sekaligus terharu.


MIRA ITU PANGGILAN UNTUK MOBIL PERTAMAKU YA, TEMAN-TEMAN. NAMA MIRA AKU AMBIL DARI 'MITSUBISHI MIRA-GE' 😭


Btw, Aku belinya awal Mei 2024 dari Surabaya. Mobil dalam kondisi baru banget diisiin pajaknya. Plat masih panjang, sampai 2028. Mobil ini sangat berarti besar dalam perjalanan karirku. Setelah sebelumnya berdiskusi dengan istri untuk menjatuhkan pilihan, dari mulai Suzuki Karimun, Suzuki Swift, Suzuki Splash, Suzuki SX4.


Untuk hal otomotif memang aku kagum dengan pabrikan Suzuki, terutama bentuknya yang unik-unik. Itulah kenapa daftar beli mobil aku dan istri isinya pabrikan Suzuki semua. Tapi kenapa akhirnya justru menjatuhkan pilihan ke Mira (Mitsubishi)? Jawabannya: Pertama, aku mengikuti intuisi istriku. Kedua, jelasnya suku cadang Mitsubishi lebih mudah didapat daripada Suzuki (bukan berarti Suzuki nggak laku ya di Indo, Suzuki bagus makanya jarang ganti suku cadang).


Terakhir aku mau bilang terima kasih untuk teman-teman atas doa-doa baiknya, semoga doa baik kembali pada yang punya. Sampai detik ini aku sendiri masih tidak percaya bisa sampai sejauh ini. Thank you, alam semesta. Dan untuk diriku sendiri, so proud of you.




Sejak kapan kehadiranmu selalu ditandai dengan hujan? Mengapa setiap kali hujan turun kutemukan kepalaku terasa penuh? Kenapa dalam tiap-tiap bulir yang jatuh memukul atap dadaku meratap? Kenapa hujan selalu datang di saat yang tidak tepat?


Ini mungkin kamu bisa tebak akan kemana arahnya. Ya, tentu saja, ke mana lagi kalau bukan jurang hatiku, tempat kamu bisa menemukan bermiliar-miliar rindu, yang kudekap sendiri dari waktu ke waktu.


Aku sudah tidak berdaya lagi untuk mengingat, bahkan sekadar ingatan kecil, momen saat kita makan bersama di kedai coklat. Bahkan aku yakin rayuanku pun tidak akan mampu meluluhkanmu seperti dulu. Bodoh rasanya jika berharap mungkin ada sepercik ingatan yang bisa membawamu kepadaku lagi, bahkan sekadar ingatan yang hanya numpang lewat.


Sakitnya.. Kita dulu pernah mati-matian mempertahankan, sampai pada akhirnya tak lagi bisa saling memaafkan. Untuk agar kita bisa menjadi "kita" seutuhnya, terlalu banyak hal berharga telah kita korbankan, air mata, hati yang lebam, dan jiwa yang sakit.


Tapi, jika jalannya harus begitu, mau bagaimana lagi? Akan kuikhlaskan hujan menghapus jejak-jejak kaki kita. Hingga tak berbekas kemudian tercipta wangi yang baru, walau untuk kali ini dan seterusnya, tidak akan sama lagi dengan wangi pipimu. 


Kelak semoga hujan bisa membawaku ke hari itu, hari di mana aku bisa melihatmu dengan tersenyum. Walau mungkin butuh lebih lama dari selamanya.




Aku selalu suka rambutmu yang dikuncir ke belakang, seperti lambai ekor kuda yang berlari di lintasan, seperti pasta panas yang baru diangkat dari panci. Dengan suara sedikit tersengal, kamu mulai bercerita tiap sepulang sekolah, tentu saja tentang hari ini, tentang teman sebangkumu yang absen karena kena flu, tentang tugas fisika dan matematika yang selalu merepotkan, juga tentang kekhawatiranmu menjelang ujian nasional. Dengan berbagai kerumitan yang tentu melelahkan, nyatanya kamu selalu bisa menutup hari dengan tetap terlihat cantik.


Kita sama-sama suka jalan-jalan, mengisi ruang-ruang kita dengan bias tawa dan kebahagiaan, kita sama-sama menyukai wangi getah hutan pinus, juga embusan angin pantai pasir putih yang gemulai. Jika ada pertanyaan kenapa selalu menyenangkan ke pantai dan ke gunung? Jawaban gampangnya mungkin karena aku mengunjunginya bersamamu. Jika bukan bersamamu mungkin tidak jadi menyenangkan. Saat di perjalanan dan melihat senyummu dari kaca spion adalah salah satu bagian menyenangkannya.


Aku dan kamu setuju, bagian terbaik dari jalan-jalan adalah makan-makan, dan makanan terbaik menurutmu adalah Pop Mie, karena selain mudah ditemukan, dia juga mudah disajikan. Sedang makanan terbaik menurutku adalah menghabiskan sisa Pop Mie-mu yang entah kenapa selalu gagal kamu habiskan. Kebahagiaan, seringkali diraih bukan dari momen yang mewah, bisa jadi dari kisah kelantur sederhana namun dilewati dengan orang yang tepat.


Kita tidak pernah berpikir bahwa waktu yang kita habiskan untuk mengukir cerita manis nyatanya di saat bersamaan dengan tidak sadar kita juga sedang meramalkan rasa sakit. Tidak pernah terlintas di kepala kita bahwa setiap rasa akan menemui titik kekecewaan, sebuah kecewa yang melahirkan luka mendalam namun tidak berbekas. Luka yang bukan segampang berdarah kemudian menyekanya dengan kain perca dan menutupnya dengan perban. Melainkan tentang sebuah luka yang akan kembali terbuka saat kelak menengok ke gunung dan pantai yang sama, sebuah luka yang akan kembali berdarah saat kelak kembali berkunjung ke tempat-tempat yang dulu pernah ada kita.


Tapi bukankah memang itu yang menjadikan kita sepasang manusia yang rakus? Selalu tidak puas dengan serentetan pertemuan-pertemuan, yang selalu mengkambinghitamkan rindu untuk alasan setiap temu. Sementara kita tau, temu hanya akan membuat hari setelahnya menjadikan rindu semakin menggebu. Jika dipikir-pikir, kita tidak pernah menemukan alasan yang tepat untuk merancang pertemuan, kita hanya mencari-cari sebuah premis yang terdengar pantas namun sebenarnya absurd untuk dijadikan alasan bertemu.


Ada masa dimana kita sudah jarang berbicara lama di telepon, tidak ada lagi chat panjang seperti yang dulu pernah menghiasi kolom whatsapp-ku. Kita lebih sering bergantian bertukar kalimat "aku tidak apa-apa" seolah itu adalah tembok besar dan kita bergantian bersembunyi di baliknya. Maka, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri segala kekakuan yang ada. Aku tidak ingin kamu bersusah-susah mencari alasan yang tepat, atau mencari-cari premis absurd yang terdengar pantas untuk dijadikan sebuah alasan. Karena aku tau, sudah bukan aku orang yang kamu pin paling atas di chat whatsapp-mu. Sudah bukan aku, orang yang ingin kamu ajak ke sana, ke hutan pinus dan ke pantai pasir putih. Dan aku pun bisa mengerti kenapa demikian, karena sudah bukan aku lagi manusia yang kamu ingin untuk bisa memenangkan hatimu.

Aku mempersilakan dengan baik orang-orang yang hendak berteduh dari lebatnya hujan sore ini. Sebagaimana pula aku mempersilakanmu masuk yang sedari tadi berdiri lama di pintu ingatan.


'Kamu tau? Aku tidak ingin kalah, namun di sisi lain, aku juga tidak mungkin menang.' Kurang lebih itu, yang ingin diucapkan air mataku yang gagal ku selamatkan dari jatuh di hari saat aku melepasmu untuk yang terakhir kali.


Jangan menangis sayangku, kamu termaafkan. Aku saja yang bebal. Jangan bersedih cintaku, kamu dimulyakan. Dari jawaban yang diberi dunia, tidak ada pilihan untuk kita saling membahagiakan. Jangan menyerah manisku, kamu tak lekang waktu. Dunia tau, kamu sempurna untuk dibahagiakan.


Lamat-lamat gubahan sabda fatwa pujangga seperti terdengar dari tape recorder yang sangat jauh. Kaki mungilmu dengan sepatu hak ku pandu sambil tangan kita berpegangan. Lantai dansa bertepuk tangan. Kaki kita mengayun ke kiri dan ke kanan seraya mataku dan matamu bertemu. Senja dan hujan bersulang. Gelas-gelas tak karuan. Awan mendung dengan gunturnya bersorak-sorai. Menandai pesta yang sepi telah usai.


Aaarrggggghhh.....


"Seharusnya kita seperti ini di masa depan" gumamku pada kursi kosong di depanku yang ku seolah-olahkan kamu ada di situ. "Sayang, restu orang tuamu terlalu mahal, untuk pemuda kere seperti aku" kata hatiku melanjutkan.


Jika hujan boleh jatuh berkali-kali di pipimu, bolehkah aku berulang-ulang mengingatmu?




Kamu lahir saat bapak tidak punya uang, tapi meski tidak punya uang bapak seneng lihat kamu lahir selamat. Bapak, kamu dan ibumu bahkan sampai 5 hari di Rumah Sakit, karena lahirmu sedikit spesial. Saat itu perekonomian dunia sedang hancur karena wabah Covid-19 dan kelahiranmu menandai puncaknya.


Bapak bersyukur, ibumu punya kartu KIS jadi tidak perlu bayar biaya operasi dan rawat inap rumah sakit yang mahal. Hanya saja kebutuhan pribadi saat itu tidak bisa di cover kartu KIS. Jadi mau tidak mau kita harus bergantung dengan sisa tabungan bapak yang tidak banyak untuk membeli susu formula dan segala tetek bengek kebutuhanmu.


Bahkan untuk syukuran kelahiranmu bapak harus ngutang dulu ke mbah putrimu, bayarnya nanti kalau sudah ada uang. Bapak meyakini, setiap manusia yang lahir membawa rezekinya masing-masing.


Maka dari itu anakku, jangan jumawa jika suatu hari kamu jadi orang berada, kamu harus ingat, saat lahirmu bapak tidak punya apa-apa. Bapak cuma punya kamu sama ibumu.


Jika suatu hari kamu menemui dirimu tidak disayangi, kamu merasa sendirian, hatimu dipatahkan, hingga merasa tidak ada seorang pun yang mempedulikanmu. Kamu harus ingat ini, bapak adalah orang yang sangat bersyukur atas keberadaanmu di dunia. Bapak adalah orang pertama yang rela melakukan apa pun demi kebutuhanmu tercukupi. Kamu adalah alasan bapak ingin tetep jadi orang keren agar kelak bisa jadi Hero yang bisa kamu banggakan. Jika kamu menoleh ke belakang, ada rasa sayang bapak yang tidak bisa kamu ukur besar dan luasnya.




Nanti, saat kita ada waktu untuk kembali berjumpa. Aku berharap kita bisa berbicara banyak hal tanpa ada rasa kaku atau canggung. Bercerita banyak hal tanpa ada kikuk atau pun terbebani perihal dulu kita yang pernah genap, sebelum akhirnya memilih untuk menjadi ganjil pada diri masing-masing.


Jika hari itu tiba, aku berharap kita menjadi dua orang paling ringan yang duduk di satu meja. Berbicara ngalor ngidul, melahirkan tawa-tawa kecil yang kemudian membesar seiring topik pembicaraan kita yang semakin tidak karuan.


Tidak hanya itu, aku harap aku bisa tau, bukan tentang bagaimana caramu merawat luka setelah 'kita', melainkan apa saja yang kamu temui setelah bukan lagi 'kita'. Termasuk tentang bau parfummu yang berubah, warna lipstikmu yang semakin berani, atau tentang koleksi bukumu yang masih sama atau tambah.


Menurutku kamu agak kurus ketimbang sebelumnya, matamu yang sekarang lebih tajam, atau aku salah? Aku samar, mungkin karena dulu aku lebih sering membuatnya basah. Maaf.


Aku ingin tau apa film terbaru di bioskop yang baru-baru ini kamu tonton? Aku juga penasaran series drakor apa yang sedang kamu tunggu-tunggu di Netflix. Dan tentu saja aku bisa menebak kamu masih suka makan seblak. Apa menurutmu seblak Rafael itu enak? Iya, menurutku begitu. Apalagi dimakan dengan mendoan.


Aku juga penasaran. Bagaimana aku di matamu? Apakah masih sama menjengkelkannya seperti lelaki yang meninggalkanmu 2 tahun lalu? Apakah menurutmu ada yang berubah dari penampilanku? Hei, aku sekarang 86 kg. Aku berani bersumpah aku tidak makan ban truck.


Oh iya, waktu makan bareng kamu, kamu sering tidak habis dan aku selalu yang menghabiskan sisa makananmu, aku jadi punya kenangan tersendiri tentang itu. Pernah, kapan hari waktu aku makan di luar, melihat ada sepasang anak manusia makan di sana, ada sisa makanan tertinggal di ujung piring mereka, entah kenapa ingatanku berpulang padamu.


Kamu sudah baca buku #BincangAkhlak, Jek? Aku suka di bagian dia menulis “Percayalah, rezeki itu tidak akan tertukar. Tidak mungkin rezekimu yang sedikit tertukar sama rezeki orang yang banyak”. Jika belum, maka kamu harus segera baca buku ini. Lucu. Menurutku dia adalah tipe penulis yang saat kamu baca tulisannya, kamu pengen nonjok orangnya.


Hmmm, aku hampir lupa. Happy Birthday, ya. Selamat tutup buku, selamat membuka lembaran baru. Semoga menjadi tahun yang ringan untuk kamu jalani. Semoga hal-hal baik selalu menyertaimu.


Apa kamu tau?

Di satu keadaan, aku pernah tidak mau kalah, tapi di saat yang sama aku juga tidak mungkin bisa menang. Aku jahat, mungkin aku cukup pantas untuk kamu sebut pecundang. Tapi yang kamu harus tau. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk aku menelan mentah-mentah semua yang pernah ada di antara aku dan kamu. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk aku meratapi, menangisi, mengenang, bahkan menerima duniaku yang tidak akan ada kamu lagi di dalamnya.


Aku pernah percaya, sepanjang aku hidup aku hanya butuh cintamu, tapi semakin ke sini, aku keliru, nyatanya aku juga butuh dicintai orang tuamu. Dan aku pergi bukan karena aku takut akan kalah, melainkan karena aku tidak mungkin bisa menang. Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini, kita tak lain hanya secuil cerita dari keseluruhan episode kehidupan. Dan aku percaya perpisahan ini hanyalah cara Tuhan menyelamatkan kita dari kecewa yang lebih menyakitkan kemudian hari.


Terima kasih pernah menaruhku lama di hatimu. Maaf jika pernah banyak merepotkan. Semoga saat waktu temu tiba nanti, kita sudah menjadi diri kita yang baru, yang sudah berdamai dan mampu menerima bahwa di luar sana ada lebih banyak kebahagiaan yang bisa kita terima daripada hanya menangisi perpisahan kita.

Pada sebuah pamit, bahuku pernah basah oleh derasnya air matamu. Tangisan yang sejadi-jadinya itu, masih mampu aku dekap meski seadanya. Malam yang tenang berbanding terbalik dengan gemuruh di dadaku. Tidak ada kata-kata, hanya air mata yang berbicara. Ku tepuk pundak lelahmu dengan mulut menguatkan "Sudah tidak apa-apa, lagi pula kita masih bisa bertukar kabar. Toh, dibandingkan dengan mimpi besarmu jarak dan waktu bukan apa-apa, semua akan terbayar lunas pada akhirnya."


Padahal jika boleh jujur, aku lebih ingin menyampaikan pada telingamu "Jangan pergi, di sini saja. Berbagi hari bersamaku. Kita raih bersama-sama mimpi-mimpi kita." Hanya saja tidak bisa ku sampaikan. Sebab aku cukup mengerti, orang yang biasa menguatkanku saat ini lebih butuh dikuatkan.


Aku tidak tau apa yang sedang terjadi di langit, Tuhan lebih suka mendengar yang mana di antara doa yang lamat-lamat setiap subuh ku semogakan atau riuh suara ombak di kepalaku yang setiap saat takut kehilangan.


Namun yang terjadi di bumi adalah,

Jarak tidak bisa dipercaya,

Dan waktu tidak punya jawaban.

Akhirnya aku kehilangan~

Tanpa alasan, tanpa penjelasan.


Terlepas dari banyak hal yang melahirkan kebencian. Ada satu hal hebat yang ingin aku terimakasihkan padamu.


Adalah 'Kebaikan' yang kamu pernah tanamkan sepenuhnya di dadaku, perlahan-lahan melebur ke dalam kepalaku, mengubah sudut pandangku tentang banyak hal, bagaimana caraku mencari jalan keluar dalam setiap masalah dan tentu saja, aku juga belajar bagaimana cara merindukan dengan benar.


Kebaikan itu ku rasa lahir dari sebuah ketulusan yang terbentuk dari kasih yang ikhlas dan kisah yang tak mudah. Sehingga yang ku terima dan ku resap setelah kau tinggal adalah pelajaran panjang mencari arti kemelekatan jiwaku pada sesuatu yang kadung ku anggap tumpuan dalam segala hal.


Dari kebaikan itu, lahir sebuah alasan untuk aku dulu ingin mengejarmu, mencintaimu, mempertahankanmu, mengabaikan segala hal selain dirimu.


Oleh karena kebaikan itu juga, akhirnya aku berhenti mengejarmu, berhenti mencintaimu, belajar mengikhlaskanmu, belajar untuk lebih mendengarkan diriku sendiri.


Dan dari kebaikan itu pula, aku menemukan, cara terbenar merindukanmu adalah dengan cara: berhenti merindukan.


Senja yang akhirnya menjumpakan lagi mataku pada sosokmu, di jalanan raya yang sesak nan angkuh, aku tertawan bias cahaya pendaran wajahmu yang memaksa masuk melalui indra pandangku, hingga buram segala arah, namun dari banyaknya entitas yang tampak, kesadaranku hanya mampu mewujudkan gambarmu sebagai satu-satunya cahaya paling terang. 


Dan pandanganmu adalah percikan kecil yang memantik bom waktu di kepalaku, meledak dalam skala yang tak terhingga sampai-sampai kepalaku terbakar hebat.


Tanpa sadar ledakan itu telah melemparku jauh ke belakang. Menyusuri alam ruang dan waktu, di saat bersamaan aku memunguti satu persatu potongan-potongan rekam kebersamaan kita dari masa ke masa. Membawaku menelaah kembali tiap-tiap garis persinggungan kita di perjalanan.


Ada saatnya aku pernah menunggu kabarmu berhari-hari, itu saat hubungan kita di ujung penghabisan, hatiku mungkin juga hatimu sudah pada batasnya. Hanya yang membedakan adalah, aku ingin terus membersamaimu, namun di lain sisi kamu ingin menyudahi semuanya. Hingga keberadaanmu sulit ku raba.


Sebelumnya tidak pernah sesulit ini menemukanmu. Tetapi entah mengapa tanpa tanda kamu tiba-tiba menghilang, mendadak kabarmu sulit kudapatkan, seolah membiarkan diri di telan bumi, seolah memang sengaja menghindariku.


Iya,


Akhirnya aku memang harus melepasmu, meski dengan sebisaku, meski dengan perasaan yang aku ikhlas-ikhlaskan, meski dengan doa baik yang tersimpul dalam tangisan. Yang dipisahkan Tuhan, tidak akan bisa disatukan oleh manusia.


Saat ini aku sudah menemukan bahagia itu, pada seorang perempuan yang begitu menghargai kehadiranku. Dan kamu... Kamu sepertinya juga sudah menemukan yang kamu cari. Pada sosok laki-laki yang memboncengmu sore tadi.


Kamu sudah bahagia, kan? Iya, setidaknya dari mataku terlihat begitu.


Tapi kamu tau, tadi aku melihatmu. Setelah sekian lamanya, yang bahkan aku yang kemarin-kemarin tidak lagi mengingatmu. Bisa-bisanya berpapasan menjadikan semua yang aku tata rapi jadi berantakan.


Tapi tidak apa-apa, aku masih ingat denganmu bukan berarti masih cinta, bukan berarti pula aku ingin memintamu kembali untuk menghadirkan rasa yang sama. Pada akhirnya dengan perlahan aku akan bisa melupakanmu sepenuhnya, meski pelan-pelan semua akan kembali baik seperti dulu kala, dengan tanpa kusadari pada akhirnya semua akan hilang tanpa sisa.


Dan semoga saat suatu hari aku melihatmu lagi, aku bisa memandangmu dengan penuh rasa syukur tanpa ada lagi sesak yang ku sembunyikan di balik senyum basa-basi. Faktanya memang kita pernah berjuang bersama untuk kata bahagia, meski pada akhirnya tidak pada diriku dan dirimu, kebahagiaan yang kita cari.

Ada begitu banyak kebahagiaan yang tidak bisa kamu ramu jadi penawar sesal. Banyak kesempatan bisa kamu ambil namun tidak ada satu pun kerja kerasmu yang bisa membeli kembali waktu. Selalu ada tempat-tempat baru yang bisa kamu tangkap dengan mata, untuk kemudian boleh kamu simpan itu di atas kenanganmu yang lama.

Akan selalu ada intropeksi baru dari peristiwa yang mengantarmu pada keterpurukan. Tidak sedikit pula yang dapat kamu petik dari kisah keteladanan orang-orang yang baru kamu temui. Ada banyak tawa yang bisa kamu ambil dan sebarkan dari dan kepada sesamamu. Hal yang tidak mungkin tapi orang terdekatmu mempercayainya itulah anugerah. Tidak terkecuali, kelak akan ada banyak ketakukan-ketakutan baru akibat kehilangan hal-hal baik dalam hidupmu.

Ada yang akan mudah kamu lupakan oleh karena kamu akhiri dengan rasa benci, ada yang akan tetap melekat walau kamu coba seribu kali melupakan, adalah yang sekarang kamu namai penyesalan. Kehadiran seseorang akan terasa singkat setelah kamu terlambat menyadari betapa berharganya ia sampai kamu tau dia sudah pergi, akan terasa lama ketika tidak ada cinta dan keikhlasan sepanjang menjalaninya, namun lebih dari itu, yang abu-abu adalah kemampuan kita meraba kesalahan kita sendiri.

Ada batasan untuk; selama, sejauh dan sedalam mana kita mampu menyimpan ingatan, juga betapa sebuah ingatan mempunyai masa, untuk kelak kita tau bahwa sebuah ingatan juga bisa memberatkan langkah.

Termasuk kenaifan manusia adalah ia merasa mampu mengontrol sepenuhnya tubuh mereka, seolah merasa bahwa dia paling tau atas dirinya sendiri. Sampai-sampai lupa bahwa melupakan sesuatu yang terlanjur melekat adalah di luar kemampuan manusia.

Hari berganti, usia bertambah, waktu terus berjalan, manusia berkembang, memungkinkan seseorang untuk berubah; cara pandangnya, pengetahuannya dan pengalamannya. Namun ada satu hal yang tidak pernah berubah bobot dan kedudukannya, adalah ingatan tentang penyesalan.

Ku kira kamu sudah belajar dari kehilangan sebelumnya, kehilangan yang berhasil memberi luka trauma pada hatimu. Ku kira akan mudah menyatukan mimpi dengan seseorang yang hatinya pernah kecewa. Ternyata salah, aku hanya terlalu naif menganggap diriku bisa menjadi satu-satunya. Ternyata aku harus meminta maaf kembali kepada diriku sendiri sebab telah ingkar janji untuk tidak patah lagi.


Pada sebuah hubungan, kejujuran adalah sesuatu yang masih kuanggap sakral, aku ingin mendasari setiap ucapan dan perbuatanku dengan kejujuran itu. Terlebih aku tau, kita pernah sama-sama kecewa karenanya. Dan aku tidak ingin tertikam untuk kedua kali dengan luka yang sama.


Ku pikir seharusnya kita sudah ada di titik "serius atau kita akhiri saja". Agar tidak ada bagiku penyesalan telah menyia-nyiakan waktu untuk berkomitmen dengan manusia yang bahkan di kepalanya tidak mengerti arti kesetiaan.


Aku setuju manusia berhak berubah, meskipun barangkali terlebih dulu harus melalui proses salah arah. Namun kali ini berbeda, perubahanmu tidak mengarah pada benar atau salah. Melainkan buram yang kemudian sulit untuk ku temukan benang merah.


Kita seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Aku di posisi yang jadi, kamu yang sembunyi. Aku menjaga benteng dengan sekuat tenaga, kamu malah bersembunyi dengan seseorang di balik kolom-kolom pesan singkat yang tidak ku tau siapa.


Kalau sudah begini apa gunanya aku berteriak kamu salah, jika kamu sendiri menganggap yang kamu lakukan sudah benar? Dulu aku pernah mengira, untukku kelak kamu bisa menjadi matahari yang cerah, ternyata hanya lilin redup yang tidak punya nyali untuk terbakar.


Jujur aku kecewa, tapi di saat yang sama aku lega. Setidaknya menurutku aku sudah mencintai dengan cara yang benar, hanya sayang, aku memberikannya kepada orang yang salah.

Menjelajah sore naik motor, mendengar lagu di earphone, naik sepeda siang-siang, menulis di buku catatan, membuka album lama, semua hal-hal kecil itu, justru kini jadi jadwal kapan aku harus mengingatmu. Betapa keanehan ini membuatku repot sendiri. Sesuatu yang seharusnya bisa aku simpan sendiri untuk aku syukuri sebagai sebuah nikmat, nyatanya malah menjadi potensi terbesar untuk menjadikan hatiku kembali patah setiap saat. Tapi terlepas dari itu, kamu memang pantas untuk aku ingat.


Apakah selama bersemayam di dalam semesta ingatku, kamu bahagia? Sudah cukup baikkah caraku merawatmu di kepalaku? Jika tidak keberatan kamu boleh tinggal di situ selamanya. Aku akan bangga menyimpanmu sebagai satu-satunya piala.


Tapi, jika aku boleh jujur, meskipun aku bahagia memilikimu dalam diriku, sisi lain dari hatiku berdarah-darah, sebagian diriku yang lain ingin kamu enyah.


Aku sering disodori pertanyaan-pertanyaan yang nihil kutemukan jawabannya.


Kenapa di saat kita sudah memilih untuk sendiri-sendiri namun aku serasa masih diikuti? Bukankah kenangan harusnya ikut melebur bersama perasaan yang telah gugur terkubur?


Dunia tercipta tersusun dari gugusan-gugusan kecil yang saling mengisi dan menyempurnakan. Asal-usul suatu yang ada membawa alasan sesuatu yang lain untuk ada. Begitu juga aku dan kamu, jika bukan aku orangnya yang menjadi alasanmu ada, maka ada orang lain yang memang terlahir segugus dengan alasan terciptanya dirimu.


Kamu akan selalu harum dalam ingatan, terima kasih sudah memberiku kenangan manis. Setidaknya aku jadi mengerti bahwa masa kemarinku tidaklah sia-sia. Meski begitu, ada hari esok yang menunggu untuk aku isi dengan bahagia. Doakan aku semoga bisa membuatnya lebih indah. Semoga senantiasa kepadamu pula hal-hal baik dilimpahkan.

Previous PostPostingan Lama Beranda