Danang Putra Arifka's

Blog

Kita Yang Tidak Pernah Benar-benar Menemukan Alasan

Leave a Comment

Aku selalu suka rambutmu yang dikuncir ke belakang, seperti lambai ekor kuda yang berlari di lintasan, seperti pasta panas yang baru diangkat dari panci. Dengan suara sedikit tersengal, kamu mulai bercerita tiap sepulang sekolah, tentu saja tentang hari ini, tentang teman sebangkumu yang absen karena kena flu, tentang tugas fisika dan matematika yang selalu merepotkan, juga tentang kekhawatiranmu menjelang ujian nasional. Dengan berbagai kerumitan yang tentu melelahkan, nyatanya kamu selalu bisa menutup hari dengan tetap terlihat cantik.


Kita sama-sama suka jalan-jalan, mengisi ruang-ruang kita dengan bias tawa dan kebahagiaan, kita sama-sama menyukai wangi getah hutan pinus, juga embusan angin pantai pasir putih yang gemulai. Jika ada pertanyaan kenapa selalu menyenangkan ke pantai dan ke gunung? Jawaban gampangnya mungkin karena aku mengunjunginya bersamamu. Jika bukan bersamamu mungkin tidak jadi menyenangkan. Saat di perjalanan dan melihat senyummu dari kaca spion adalah salah satu bagian menyenangkannya.


Aku dan kamu setuju, bagian terbaik dari jalan-jalan adalah makan-makan, dan makanan terbaik menurutmu adalah Pop Mie, karena selain mudah ditemukan, dia juga mudah disajikan. Sedang makanan terbaik menurutku adalah menghabiskan sisa Pop Mie-mu yang entah kenapa selalu gagal kamu habiskan. Kebahagiaan, seringkali diraih bukan dari momen yang mewah, bisa jadi dari kisah kelantur sederhana namun dilewati dengan orang yang tepat.


Kita tidak pernah berpikir bahwa waktu yang kita habiskan untuk mengukir cerita manis nyatanya di saat bersamaan dengan tidak sadar kita juga sedang meramalkan rasa sakit. Tidak pernah terlintas di kepala kita bahwa setiap rasa akan menemui titik kekecewaan, sebuah kecewa yang melahirkan luka mendalam namun tidak berbekas. Luka yang bukan segampang berdarah kemudian menyekanya dengan kain perca dan menutupnya dengan perban. Melainkan tentang sebuah luka yang akan kembali terbuka saat kelak menengok ke gunung dan pantai yang sama, sebuah luka yang akan kembali berdarah saat kelak kembali berkunjung ke tempat-tempat yang dulu pernah ada kita.


Tapi bukankah memang itu yang menjadikan kita sepasang manusia yang rakus? Selalu tidak puas dengan serentetan pertemuan-pertemuan, yang selalu mengkambinghitamkan rindu untuk alasan setiap temu. Sementara kita tau, temu hanya akan membuat hari setelahnya menjadikan rindu semakin menggebu. Jika dipikir-pikir, kita tidak pernah menemukan alasan yang tepat untuk merancang pertemuan, kita hanya mencari-cari sebuah premis yang terdengar pantas namun sebenarnya absurd untuk dijadikan alasan bertemu.


Ada masa dimana kita sudah jarang berbicara lama di telepon, tidak ada lagi chat panjang seperti yang dulu pernah menghiasi kolom whatsapp-ku. Kita lebih sering bergantian bertukar kalimat "aku tidak apa-apa" seolah itu adalah tembok besar dan kita bergantian bersembunyi di baliknya. Maka, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri segala kekakuan yang ada. Aku tidak ingin kamu bersusah-susah mencari alasan yang tepat, atau mencari-cari premis absurd yang terdengar pantas untuk dijadikan sebuah alasan. Karena aku tau, sudah bukan aku orang yang kamu pin paling atas di chat whatsapp-mu. Sudah bukan aku, orang yang ingin kamu ajak ke sana, ke hutan pinus dan ke pantai pasir putih. Dan aku pun bisa mengerti kenapa demikian, karena sudah bukan aku lagi manusia yang kamu ingin untuk bisa memenangkan hatimu

Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar