Danang Putra Arifka's

Blog

Pada Sebuah November Yang Sedang Hujan Sore

Leave a Comment

Aku mempersilakan dengan baik orang-orang yang hendak berteduh dari lebatnya hujan sore ini. Sebagaimana pula aku mempersilakanmu masuk yang sedari tadi berdiri lama di pintu ingatan.


'Kamu tau? Aku tidak ingin kalah, namun di sisi lain, aku juga tidak mungkin menang.' Kurang lebih itu, yang ingin diucapkan air mataku yang gagal ku selamatkan dari jatuh di hari saat aku melepasmu untuk yang terakhir kali.


Jangan menangis sayangku, kamu termaafkan. Aku saja yang bebal. Jangan bersedih cintaku, kamu dimulyakan. Dari jawaban yang diberi dunia, tidak ada pilihan untuk kita saling membahagiakan. Jangan menyerah manisku, kamu tak lekang waktu. Dunia tau, kamu sempurna untuk dibahagiakan.


Lamat-lamat gubahan sabda fatwa pujangga seperti terdengar dari tape recorder yang sangat jauh. Kaki mungilmu dengan sepatu hak ku pandu sambil tangan kita berpegangan. Lantai dansa bertepuk tangan. Kaki kita mengayun ke kiri dan ke kanan seraya mataku dan matamu bertemu. Senja dan hujan bersulang. Gelas-gelas tak karuan. Awan mendung dengan gunturnya bersorak-sorai. Menandai pesta yang sepi telah usai.


Aaarrggggghhh.....


"Seharusnya kita seperti ini di masa depan" gumamku pada kursi kosong di depanku yang ku seolah-olahkan kamu ada di situ. "Sayang, restu orang tuamu terlalu mahal, untuk pemuda kere seperti aku" kata hatiku melanjutkan.


Jika hujan boleh jatuh berkali-kali di pipimu, bolehkah aku berulang-ulang mengingatmu?

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar