Danang Putra Arifka's

Blog

Nun Mala

Leave a Comment

Senin, 15 Juni 2015. Cerpen Nun Mala (Naskah Asli Sebelum Kena Potong Editor)


Nun Mala
Oleh : Danang Putra Arifka


Kepada yang Maha di dalam jiwaku, ku persembahkan tulisan ini...

Hari hari bahagia aku jalani bersamamu. Menjejaki setiap butiran waktu di sepanjang jalan yang telah kita lalui. Menapaki jutaan senyum dari setiap buliran air mata yang telah kita tuangkan pada sebuah cawan yang telah Tuhan buang jauh. Jatuh, bangun, tangis dan tawa. Semuanya begitu indah. Semuanya terasa hebat. Namun semuanya begitu singkat. 

Buku-buku di rak jadi kanvas dimana aku melukiskan namamu dan indah kisah kita. Tembok kamar tak hentinya menampakkan rekam senyummu yang indah merekah bak rembulan gerhana setengah. Hidungmu, alismu. Membuat pejamkupun tak lena.

Seharusnya aku tau semuanya tidak semudah itu bagiku. Tetapi sesaat, perasaan yang aku anggap cinta itu mengajakku menelusuri lorong-lorong yang tak seorangpun mampu menjamahnya, tempat dimana sejuta kunang hinggap di tanganku dan menunjukkan kepadaku kota keindahan. Kota yang bahkan lebih indah dari Fairy Thopia[1] atau keindahan daya imajinasi anak kecil sekalipun.

Cahaya putih hinggapi kelopak mataku dan membuka kedua katupnya. Aku baru sadar bahwa sebenarnya aku baru saja memimpikan sesuatu yang seharusnya di mimpikan orang hebat, dan aku tak cukup hebat untuk merasa menjadi orang hebat. Aku hanya manusia biasa. Aku tak bisa menerobos kerasnya hantaman badai. Akupun tak mampu melawan deburan ombak yang berkecipak menyisir pasir putih di tepian pantai.  Begitupun saat angin menerpamu hilang dari daya ingatku. Aku tak berdaya. Hanya air mata di atas luka yang tersiram air cuka, luar biasa pedih yang aku rasa.

Semudah itukah aku melepaskan cintanya yang ketika mengingat senyumnya saja aku serasa mendapat motivasi yang sangat kuat? Semudah itukah aku melepas rasa sayangnya yang ketika aku menikmatinya saja, serasa aku adalah orang terhebat di antara orang yang hebat-hebat?

Rotasi waktu cepat berlalu, membuat setahun tanpamu terasa lama sekali. Begitu pula deengan rasa sakitnya melihatmu berboncengan dengan Pak Miko. Yang tersisa kini hanya tetes-tetes darah yang tak bermakna sewaktu aku berjuang menghidupkan rasa yang telah lama ingin aku hidup-hidupi. Tetapi aku tak menyesal. Meski kini aku ingin sekali melupakanmu. Tapi melupakan bukan hal yang kau ajarkan padaku sewaktu kita masih bersama. Yang kau ajarkan hanya mencintai dan menyayangi. Lalu, bagaimana aku harus menghapus kenangan yang telah mati-matian aku bunuh sejak lama itu kalau di setiap gema nafasku yang tergetar hanya namamu?

Engkaulah gurat senyum yang tertahan. Engkaulah takdir tangis yang telah mengendap.


Aku memanggilnya Nun Mala..

            Siapa yang tidak mengenalku? Aldi Putra Mahesa. Mungkin bisa di bilang aku adalah siswa paling giat di antara teman-teman seangkatanku saat ini. Cawu pertama telah selesai. Begitupun dengan hafalanku. Jauharul maknun dan Sulamul Munawroq telah ku syairkan dengan begitu lanyah-nya di depan penyemak. Sejauh ini baru aku yang bisa melakukan hal tersebut di antara teman-teman seangkatanku. Mungkin hal itu pula yang membuat pak Miko guru Bahasa Arab favoritku, menyanjungku habis-habisan.

      Ini adalah janjiku, bahwa aku harus mendapatkan nilai terbaik di antara teman-teman seangkatanku ketika sudah lulus nanti. Demi membahagiakan Umi dan Abah di rumah yang tak henti-hentinya mendoakanku dari kejauhan. Mi, Bah.. guyuran doa kalian sungguh terasa saat aku menghafalkan bait demi bait Jauharul Maknun yang kata sebagian teman-temanku sulit untuk di hafalkan. Namun demi semangat yang telah aku janjikan aku tak akan mengecewakan Umi dan Abah.

           Tidak Cuma untuk Umi dan Abah, Janjiku juga telah aku demi-kan kepada seorang perempuan yang selama ini telah memberiku suport besar. Perempuan yang menghadiahiku senyuman di setiap apa yang aku inginkan berhasil aku dapatkan. Ya, aku memanggilnya Nun Mala. Dia adalah perempuan yang aku pacari kurang lebih satu tahun ini. Kisah cinta yang aku mulai dari surat bangku itu sekarang menjadi kisah cinta yang hebat. Mengalahkan kegilaan Qais terhadap Layla sekalipun.

          Satu tahun berpacaran dengan Nun Mala, prestasiku semakin baik. Sejak itulah aku tak percaya bahwa cinta hanya akan membuat hancur masa depan seseorang. Sebab nyatanya aku tidak demikian. Cinta yang menghancurkan bukanlah sepenuhnya cinta. Melainkan karena Syaiton ikut campur di dalamnya dan menguasai cinta itu sehingga berubahlah cinta menjadi nafsu. Namun cintaku pada Nun Mala sangat bersih. Tak seujung kukupun debu mampu menodai kesuciannya yang senantiasa tetap aku jaga dalam diam.

Perempuan manis berparas cuacasoid khas Albania yang akrab di sapa Mala oleh teman-temannya itu kini Nyantri di Pondok Pesantren Al-Husna. Menjaga hafalan Al-Qur’annya sekaligus menimba ilmu di Madrasah Matholi’ul Falah. Ya, di umur yang bahkan 2 tahun lebih muda dari aku, Nun Mala sudah mampu menghafal dengan baik kitab suci Al-Qur’an. Subhanallah.

Setiap kali pulang sekolah, tak jarang aku dan Nun Mala berpapasan. Nun Mala yang  sedari jauh aku perhatikan begitu manis dengan angin genit yang menggoda kerudungnya meng-kelibat. Darahku berderih saat Nun Mala mendekat. Semakin dekat semakin mendidih. Semburat keringat bahagia keluar dari setiap pori-pori kulit yang senantiasa bertasbih.

Rasanya seperti adegan slow motion di film-film. Ketika jarak antara aku dan Nun Mala semakin dekat, seolah waktu terasa berjalan sangat lambat sekali, tepat disaat mata kita bertemu dan, Ahh.. Cuma senyum kecil itu. Cuma wajah yang tertunduk malu itu. Bahan bakar yang memompa aku untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi setiap harinya. Madu yang mengobatiku saat yang di tawarkan hidup hanyalah racun. Pelecut semangat saat letih berkata ‘sudah cukup’.

Hari ini aku mulai mencoba menghafal dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang selama ini hanya aku baca saja. Setelah siang tadi aku membaca surat bangku balasan dari Nun Mala yang menyarankan aku untuk menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan harapan aku lebih bisa mengendalikan diri saat nafsu menyergap. Bismillah.. semoga Allah memberiku ketetapan hati.

Hari demi hari, hafalanku semakin terkumpul banyak. Setelah sholat maghrib biasanya aku ‘membuat’ hafalan, dan di sela waktu sebelum adzan subuh aku sempatkan beberapa menit untuk melancarkan hafalan yang sudah terkumpul. Sebab untuk di setorkan kepada Pak Kyai setelah sholat subuhnya. Begitupun hari seterusnya. Seperti tiada kata lelah maupun lunglai dalam diriku. Entahlah. Terkadang aku merasa bahwa aku adalah anak yang paling tidak asyik sedunia. Bahkan tawaran teman-teman untuk sekedar minum kopi bersama selalu aku tolak. Meskipun tau apa yang akan aku katakan, terkadang mereka tetap menggoda. Mungkin aku terlalu jauh memberikan hati kepada Nun Mala sehingga aku merasa dia seperti kewajiban yang harus aku tunaikan.


Wahai senyum yang aku resapi, dimana engkau?

           Bulan November telah berlalu. Desember datang dengan senyum lebar pagi ini. Berbeda denganku, aku berjalan dengan gontai dalam perjalanan pulang dari makam Syeikh Mutamakkin menuju kamar di pesantren yang aku tinggali, Ponpes Maslakul Huda. Tubuhku terasa ringkih sekali akhir-akhir ini. Seperti burung yang kehilangan sebelah sayap.

            Tidak tahu kenapa seminggu ini Nun Mala tak membalas sepucuk guratpun dari apa yang telah aku goreskan pada kertas kecil yang aku selipkan di antara lubang tempat meja Nun Mala, tidak seperti biasanya. Akupun tak pernah berpapasan dengannya lagi setelah dua minggu lalu terakhir berpapasan. Ya allah, tolong jagakan dia, selayaknya orang tua menjaga anaknya.

             Namun harus tetap semangat. Sebab belajarku semalaman untuk menghadapi ulangan Bahasa Arab pak Miko akan terasa sia-sia kalau aku harus terus berkutat dengan bayangan Nun Mala.

“Mas Aldi” panggil Hafidz dari arah belakang. “Ini ada titipan dari Mbak Mala waktu aku pulang kemarin” lanjut Hafidz sambil menyodorkan amplop merah hati yang mana itu adalah warna kesukaan Nun Mala.

“Hehe.. iya Fidz, maaf merepotkan. Terima Kasih ya” jawabku sambil menerima amplop dari tangan Hafidz yang terus pergi begitu saja tanpa membalas terima kasihku.

               Betapa sangat bahagianya aku menerima surat dari Nun Mala itu. Rasanya seperti tertimbun gunung emas. Bahkan lebih dari itu. Aku coba buka pelan pelan isi amplop tersebut. Aku temukan kertas potih bergaris di dalamnya. Pelan-pelan aku mengeja.


                Teruntuk Aldi Putra Mahesa,
                Aldi yang sangat aku sayangi. Terkadang aku merasa, aku adalah wanita paling bahagia sedunia jika suatu saat nanti aku bisa hidup di rumah yang sederhana yang di bawah atapnya ada kamu. Tentu sangat bahagia rasanya menjalani hari-hari dengan perhatian darimu bukan hanya sekedar melalui surat bangku.

                Di suatu saat, jika langit sedang mengusap peluhnya jatuh ke bumi. Aku ingin memasakkan nasi goreng dengan sedikit sambal kesukaanmu. Jika sudah matang akan aku alaskan satu piring besar untuk porsi kita berdua lalu memakannya di depan hujan sampai langit merasa iri melihat kita saling menyuapi satu sama lain.

                Di suatu ketika, saat kamu sakit, aku tak akan pernah beranjak dari tempatku terjaga. Akan aku usap peluh di dahimu dan aku tak akan lelah untuk terus berusaha membuat semuanya terasa baik-baik saja meskipun kamu sedang sakit.

              Tidak terasa satu tahun sudah kita berpacaran, aku sangat berterima kasih karena kamu mampu terima keadaanku di tengah-tengah masa dimana pacaran berjarak sudah bukan musimnya lagi. Aku tau bagaimana tersiksanya mencintai seseorang tanpa pernah berbicara apapun kecuali melalui goresan pena. Pasti sakit sekali. Namun sebaliknya, kenapa di setiap aku membaca surat bangku darimu selalu keceriaan yang selalu kau gambarkan dalam setiap kata-katamu. Seperti tiada keluhan apapun didalam kediamanmu mencintaiku. itulah yang aku terkadang sulit mengerti darimu. Sifat yang selama ini belum pernah aku temui pada diri laki-laki lain.

                Semakin hari semakin kesini. Semakin bertambahnya usia membuat kita semakin dewasa. Tentunya kamupun tahu, terkadang apa yang kita inginkan tidak bisa kita dapatkan, dan terkadang apa yang kita dapatkan belum tentu seperti apa yang kita inginkan.

               Dalam surat ini, aku ingin memintamu untuk membantuku menghapus mimpi-mimpiku yang itu ingin aku ukir bersamamu. Mimpi tentang hidup di bawah satu atap yang sama, mimpi tentang memakan nasi goreng sepiring berdua di depan rumah sambil menyaksikan hujan. Dan kenangan-kenangan lain yang telah Tuhan buat semurah debu.

           Kejadiannya begitu cepat. Akupun tak menyangka. Tiga hari yang lalu Pak Miko datang bersilaturrahmi kerumahku. Aku mengira itu silaturrahmi biasa. Namun ternyata di sela silaturrahmi yang aku anggap biasa itu, Pak Miko menanyakan statusku sebagai wanita yang sudah beranjak dewasa. Seketika aku gontai. Aku bilang aku belum siap untuk menikah, masih terlalu kecil bagiku untuk merasakan hempasan ombak di tengah bahtera rumah tangga yang akan kita jalani nanti. Namun Tuhan berkata lain dari apa yang aku panjatkan di setiap sujudku kepada-Nya. Bibirku bungkam. Kelu seribu kelu, saat ayah meng-iyakan maksud di balik silaturrrahmi yang aku anggap biasa itu.

                Setiap aku ingin memejamkan mata selalu saja bayangmu hadir menangkal rasa kantukku. Selalu terfikirkan olehku, bagaimana harus aku tuliskan kabar ini melalui surat bangku yang selalu membuatmu semangat selama ini. Beberapa hari ini aku selalu di hantui perasaan bersalah terhadapmu, betapa jahatnya aku kepada seorang lelaki yang bahkan seujung kukupun tak pernah menyentuh. jangankan menyentuh, berbicara tatap mukapun belum pernah. Bagaimana bisa aku menyakiti mahluk suci sepertimu?

Pada akhirnya. Aku hanya ingin meminta ikhlasmu untuk melepaskan belenggu yang mengikat kakiku di hatimu, supaya aku terlepas dan bisa terbang lagi. Maaf aku terpaksa meninggalkanmu. Aku sakit, tak kuat. Terkadang aku berteriak dalam mulut yang terkunci rapat, namun terkadang aku berpikir itu percuma dan aku mencoba berdamai dengan keadaan sambil merindukanmu melalui tetesan-tetesan air yang keluar dari katup mataku.

                Suatu saat jika kita berjumpa di lain waktu, aku harap kau sudah menjadi hafidz, dan aku harap kamu sudah melupakanku. Meski dalam keadaan apapun, tetaplah tersenyum sayang, terkadang senyum terindah hadir setelah air mata penuh luka yang paling luka. Dan aku? Sejarah akan mengukirnya di atas batu nisanku, bahwa aku adalah wanita terbodoh yang pernah menyakitimu sesakit-sakitnya.


                Orang yang sampai kapanpun tetap mencintaimu,
                Nun Mala.


                Tidak terasa buliran bening berjatuhan membasahi seragam biru yang aku kenakan. Serasa belum percaya. Nun Mala yang setahun lalu aku kenal, terasa cepat sekali meninggalkanku dengan segala kenangan yang masih mengendap. Rasa benci dan sayang tercampur jadi satu tanpa bisa di bedakan.  Sejenak, rasa hormatku pada Pak Miko hilang. Kepada siapa aku harus melampiaskan amarahku?

                Aku berlari sekencang-kencangnya. Berteriak sekeras-kerasnya. Tak ku hiraukan lagi nilai ulangan pelajaran guru favoritku yang entah tak tahu salahnya, aku membencinya. Yang ada di otakku adalah aku baru saja kehilangan lagu ceria yang biasa aku perdengarkan kepada Tuhan saat bersimpuh sujud di hadapan-Nya.

                You know that is hurt. But, if it is for you, i just can to hope you feel happiness without me. I’m sorry i’m gone.


[1] Kota tempat tinggal peri dalam sebuah film animasi Barbie.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar