Katamu ada banyak hal yang layak kita bawa lebih jauh lagi. Setidaknya sedikit lebih jauh dari tempat kita berdiri saat ini. Namun apa yang pantas diperjuangkan di kehidupan yang keji ini? Terlebih hal-hal yang kelak mengubur kita hidup-hidup. Bagaimana jika sejak awal ada seseorang yang tidak kamu kenal tiba-tiba membisikan di telingamu bahwa akan ada masanya kamu akan mencintai seseorang dengan keras namun berakhir tidak bisa hidup bersama. Apakah kamu akan tetap menerimanya? Jika iya kenapa kita masih bersikeras memperjuangkan cinta yang sudah basi ini?
Ini yang kadang aku benci dari berperasaan, aku jadi mudah kalah dari hal-hal sepele; seperti matahari tenggelam, bau porselen tumpah, suara buliran hujan yang memukul genting, bunyi ketel yang mendidih, tetesan air kran yang bocor, bahkan bau shampo yang melekat di ingatanku kala mencium rambutmu, aku kalah.
Tidakkah berperasaan harusnya memberimu keberanian untuk menerjang, membuatmu kuat di masa-masa tersulit, memberikanmu lampu terang saat gelap datang, seperti nyala strongking di perahu-perahu nelayan di sepanjang garis pantai kala sinar surya lindap dilahap petang.
Aku setuju denganmu bahwa ada banyak hal dari kita yang seharusnya berakhir indah. Namun kita juga sudah cukup dewasa untuk menerima bahwa ada banyak hal dari kita berdua yang tidak mungkin bisa dipaksakan, terlebih diselamatkan. Berulangkali kita telah berusaha untuk berjuang sekali lagi atas dasar cinta, namun tetap saja ujungnya kecewa.
Kamu tau ini, kita mengerti ini. Katamu di dunia tidak ada yang tidak mungkin, selama manusia masih mau berusaha dan berdoa. Lalu usaha apa yang belum kita lakukan, cah ayu? Jika cinta diibaratkan secangkir racun, kita bahkan sudah meminumnya entah sudah habis cangkir yang keberapa. Dan doa? Jika doa bisa dilihat niscaya langit bahkan tidak punya tempat untuk menampung doa kita lagi, Tuhan yang maha mendengar saja barangkali sampai bosan mendengar doa kita yang selalu itu-itu terus.
Kasihku, kita sempurna sebagai sepasang manusia, kita layak bahagia bersama. Tapi kasihku, meski usaha kita telah penuh dan doa kita sampai pada langit, sayangnya bukan itu yang diinginkan ibumu, ibumu ingin lebih dari sekadar langit, ibumu menginginkan Jupiter, sedang doa kita tidak cukup kuat untuk bisa tembus sampai ke sana.
Sayangku, mari bersepakat! Kita berdua adalah sama-sama anak ibu. Tidak perlu mencari siapa penjahat di balik runtuhnya kita. Namun jika dalam sebuah cerita memang harus ada tokoh antagonisnya, maka biar aku saja yang mengambil peran itu. Aku yang salah telah mencintaimu, aku yang keliru telah memposisikan cinta sejajar dengan keimanan. Sehingga ketika datang persoalan restu, aku tidak boleh bermain curang.
Kekasih hatiku, mari saling melupakan tanpa menaruh dendam pada siapa pun. Meski mungkin bagiku butuh waktu selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar