Minggu, 10 Agustus 2014. Surat Cinta.
Pagi tadi ceritanya aku lagi bersih-bersih, waktu buka laci lemari yang udah berpuluh-puluh tahun lamanya udah nggak kebuka *berlebihan*, aku nemu ini nih. Daripada ilang mending di tulis disini biar tidak hilang.
Teruntuk
Mas Danang
Betapa hatiku
telah jauh terperosok di palung hatimu hingga tak ada satu kalimatpun, mampu
menjelaskan sedalam apa diri ini telah jatuh. Aku terlanjur terpikat pada pandangmu yang teduh. Aku terjerat santun perangaimu. Aku seperti terpenjara dalam senyummu yang hangat. Aku ingin sekali lengan hangatmu memelukku hingga aku merasa nyaman disampingmu. Cintamu seperti caramel coklat, selembut permen kapas yang meleleh begitu aku sentuh dengan ujung lidahku yang peka.
Terimakasih, untuk cintamu yang kau percayakan padaku. Sebab karenamu, aku menemukan warna-warna dalam hidupku yang belum pernah aku temukan sebelumnya.
Aku belajar tentang perasaan yang juga belum aku ketahui sebelumnya. Kau laksana kunang-kunang di malam yang gelap, yang menyelamatkanku dari tebalnya kabut malam, kau datang membopongku seperti bayi walau dengan langkah ter-engah-engah. Aku berpikir mungkin ketika aku kehilanganmu aku tak yakin ada sosok laki-laki lain yang bisa sepertimu.
Mungkin kau
memang sengaja membuat hatiku buta, supaya semua yang berwarna terlihat sama di
mataku. Atau jangan-jangan aku sengaja membutakan mataku sendiri. Entah, aku tak tau dan tak mau tau. Yang
jelas aku telah buta kepada selainmu!
Waktu berjalan
lambat dan engkau masih setia di sampingku, berjalan maju, memegang erat tanganku dengan rasa bangga. Aku tulis surat ini
supaya kau tidak marah lagi. Seharusnya kau tau kenapa aku sulit menerimamu.
Bukan. Bukannya aku tidak sayang kepadamu, aku tidak cinta kepadamu. Bahkan
sebaliknya, aku sangat menyayangimu melebihi siapapun, aku sangat mencintaimu
melebihi apapun. Tapi aku ingin terus begini. Terus kau cintai. Terus kau
kejar-kejar. Sebab aku belum siap patah hati dan akhirnya kehilanganmu. Aku ingin
terus merasakan caramu mencintaiku yang begini. Teruslah kejar-kejar
aku sampai aku bosan, lalu aku menerimamu.
Aku suka keyakinanmu
yang dewasa, aku suka perhatianmu yang memayungi, dan aku suka sikapmu yang
tenang. Semuanya tersirat seperti mengalir, mendarah daging dalam tubuhmu.
Terkadang saat aku jatuh dengan masalahku kau datang dengan membawa lengan untuk
memelukku dan bahu untuk aku bersandar. Nyatanya di tempat itulah aku menemukan
kedamaian sebenarnya.
Jangan sampai
lupa sholat sayang. Aku ingin kamu jadi imam yang baik.
Tertanda,
Aku, yang diam-diam hatinya mulai tercuri
0 komentar:
Posting Komentar