Danang Putra Arifka's

Blog

Kenang Dalam Tenang

Leave a Comment

Maaf aku selalu gagal menghapus yang menjadi bagian kita.

Sore yang kita habiskan untuk duduk di tepian pantai apakah itu indah? Aku menghadiahkan lagu kemesraan untuk didengar telingamu. Jemariku masih sibuk memetik gitar sedang di segaris senyum pada bibirmu yang sabit mataku tak pernah mau lepas. Teriring ombak melambai-lambai ku ceritakan bahagiaku saat itu pada laut yang sedang mengantar pulang sang surya.

Saat ini kita sudah saling pergi satu sama lain. Apakah kerinduanku masih akan sampai padamu?

Aku masih memeluk erat kenangan itu, saat dimana aku menggendongmu. Kamu bergeming, namun suaramu terdengar gemetar seperti ragu-ragu. Aku menurunkanmu dari gendonganku  lalu matamu menyekatku. Mataku dan matamu bertemu dan kita pun tertawa. Katamu, kamu takut jatuh, kamu takut aku menjatuhkanmu. Namun yang terjadi apa? Yang terjadi saat ini justru aku jatuh sendirian dan kamu tidak ada.

Matahari pagi di atas motor yang melaju di jalanan berdebu, apa menurutmu itu kacau? Aku membawakan jaket untukmu. Kita akan pergi ke tempat yang jauh sekali, suatu tempat yang aku harap bisa membuatmu cukup untuk mengerti dan menyadari, bahwa, betapa aku sudah berhasil membawamu sejauh itu. Ayunan dari ban bekas yang dikaitkan dengan seutas tali pada pohon karet itu, sekarang sudah tidak ada. Tempat itu jadi ramai, tapi kita memilih untuk tidak pernah ke sana lagi. Setidaknya sampai saat kita memilih untuk saling tidak memikirkan satu sama lain.

Kamu gagal menghabiskan semangkok sup pagi itu, kamu bilang itu terlalu pedas. Lalu kita bertolak untuk berputar mengelilingi pasar, aku mengikutimu yang sedang mencari kebaya untuk dipakai di hari perpisahan sekolah, sayangnya kita tidak berhasil menemukannya. Kemudian pada seruas jalan persimpangan di tengah pasar, kita berjumpa dengan si Ibu penjual bunga, dia berkata padaku "Apakah dia adikmu?" Kemudian ku jawab "Iya, kenapa buk?" "Adikmu manis, tapi tidak mirip dengan kamu" Gumam si ibu penjual bunga. Kamu mendengarnya lalu tertawa dan semua selesai di hari itu.

Yang aku tidak mengerti, setelah hari itu, kita jadi semakin kabur seperti pandangan saat berjalan menembus kabut yang tebal. Kita seperti coretan abstrak pada kertas buram. Kita jadi serumit skripsi tanpa kesimpulan. Mirip senja yang memulangkan unggas tanpa memberi alasan. Kita jadi seringan abu yang mengepul dari panggangan. Seperti dua anak kecil yang memungut dandelion di tepi jalan, dipegangnya dandelion itu kemudian dibawanya lari menantang angan.

Kita pun sirna, berangsur meski tanpa aba-aba. Seperti sejarah mencatat seolah tidak pernah ada kita di dunia.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar