Danang Putra Arifka's

Blog

The One And Only

Leave a Comment

Hei, kita ketemu lagi. Anehnya setelah hampir 4 tahun tidak bertegur sapa, meski terkadang juga kepalaku terbersit rasa rindu. Aku diam-diam menyimpan rasa canggung saat akan dipertemukan lagi denganmu. Sebenarnya alam butuh alasan apalagi untuk akhirnya mempertemukan kita kembali, setelah terakhir kita lepas komunikasi yang tersisa hanya ingatan; kamu terlalu asik dengan duniamu, sedang aku tidak mendapatkan cukup ruang untuk ikut merasakan hingar bingarmu.

Tunggu. Tunggu. Tunggu!
Aku masih belum percaya. Apa ini mimpi? Sebab aneh. Seseorang yang aku rasa sudah tersimpan rapi bersampul debu di laci dasar lemariku, kini muncul lagi ke permukaan memaksaku untuk menelaah kembali apa yang pernah aku ingat tentang buku usang itu.

Rasa canggung sekaligus bahagia melebur jadi satu, seolah seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membentur keras ke kepalaku, lewat sebuah alunan lagu lama berjudul 'antara dirimu dan dirinya' yang merambat pelan digendang telinga, kurasa lagu itu cukup untuk mewakili 'kita' yang dulu. Dari semua lagu Ada Band yang kamu suka, entah kenapa lagu itu yang kurasa begitu kita. Coba nanti kutanya padamu tentang alasan kenapa dulu kita suka sekali lagu itu. Barangkali kamu masih mengingat.

Apa kamu percaya kita akan bertemu lagi? Aku mau tau apa yang kamu rasakan ketika tau mau bertemu denganku. Apakah se-gugup aku? Mungkinkah semua tentangku juga tiba-tiba menyergap kepalamu?

Aku ingin berkata jujur tentang jika selama ini aku benar-benar merindukanmu. Kata-katamu yang lugas apa adanya dan tanpa malu-malu ku buat sebagai standar bahwa wanita idaman harus se-cerewet dirimu. Kamu dulu kan yang mengajariku banyak hal. Mungkin kalo detik ini kamu ada didepanku aku pasti akan langsung bilang sama kamu, "Hei, kamu sudah berhasil membawaku berjalan sampai sejauh ini lho."

Mungkin banyak orang disana meragukan masa depanmu, tapi aku adalah orang yang ada di garda barisan paling depan sebagai seseorang yang menyuarakan dukungan kepadamu, karena aku percaya suatu saat kamu akan jadi seseorang. Aku meyakini dan percaya meski hari ini tidak ada aku disampingmu, kamu tetap hebat seperti dulu.

Kamu hebat. Kamu mengajariku banyak hal, meski itu dalam keadaan kamu tidak mengajariku sekalipun. Anehnya tanpa kamu suruh diam-diam aku belajar dari cara bicaramu yang jujur apa adanya, kamu tidak ada malu-malunya ngatain aku "Kan bangke! Kan kampret." Seperti mengalir saja dan secara tanpa sadar aku terbawa alurmu. Kamu merasuk jauh dikehidupanku, kemudian merusak kepolosanku dengan caramu yang ku anggap baru.

Kamu orang paling freak yang pernah aku kenal, tapi penuh kejujuran. Kejujuran yang pada akhirnya membuatku ingin menyelam lebih dalam ke dasar isi kepalamu. Tanganku suka bergerak sendiri mengitari beranda facebookmu, berharap hari ini kamu membuat status baru, entah apa, tidak jelas, tapi yang jelas aku menunggu itu.

Aku suka kamu beri cerita baru, apapun tentangmu, keseharianmu, kejadian pulang sekolah, seputar canda tawamu dengan teman dekatmu, bahkan tidak jarang kamu bercerita seputar kisah asmaramu yang kandas. Anehnya aku senang saja, dengan begitu antusias menantimu mendongeng hingga akhir cerita. Dulu kamu kan yang ngajarin aku 'jadwal pacaran'. Kamu juga yang punya semboyan bahwa pacaran tidak boleh membuat kita jadi bodoh, tapi bagaimana supaya kita bisa menjadi hebat bersama-sama. Jujur saja, aku jatuh cinta pada caramu mencintai dirimu sendiri. Tidak ku sangka selama ini ternyata aku melihat dunia hanya sekecil debu, setelah mengenalmu aku melihat dunia ini luas sekali, ada banyak hal yang dulu tidak ingin aku temui, tapi setelah mengenalmu aku jadi ingin mengenal banyak hal, termasuk hal yang tidal ingin aku temui.

Aku tidak pernah meragukan dedikasimu terhadap karir dan pendidikanmu. Kamu bisa menyempatkan waktu untuk belajar malam bagiku itu hebat. Itu cukup meyakinkanku bahwa kamu memang orang yang memberi big space untuk mimpi-mimpimu. Nanti, jika sudah tiba waktunya, aku ingin menemani suksesmu, kita harus sukses bersama. Begitu batinku dulu.

Tetapi itu seperti masih jauh saja. Kamu selalu mengalihkan pembicaraan saat aku ajak bicara tentang asmara (kita), padahal aku yakin, saat itu kamu pasti sudah tau aku punya rasa. Seharusnya jika kamu tidak nyaman dengan hadirku, katakan saja, maka aku akan berbiasa saja. Tidak seperti ini, membiarkan rasaku tergantung seperti tidak hidup-tidak mati.

Bukankah dulu aku sering membuatkanmu puisi? Aku juga sering merekam sendiri suaraku saat bernyanyi dengan gitar. Aku sering mengirim untukmu kumpulan prosa-prosa norakku. Kamu masih ingat itu atau mungkin sudah lupa. Jangan-jangan buku yang dulu pernah aku berikan padamu sekarang sudah hilang? Hei, buku itu sudah tidak cetak lagi. Harusnya kamu jaga baik-baik.

Dan sekarang waktunya, seolah alam ingin mengakhiri permainan petak umpetnya. Dimana akhirnya aku memang harus bertemu denganmu. Aku pikir pertemuan ini akan jadi sedikit kaku. Aku takut kamu tidak suka dengan kehadiranku, entah ilfil atau bahkan aku takut kalo kamu malah sudah menanam rasa benci sejak terakhir kita lepas komunikasi.

"Hei."
"Hei. Apa kabar? Dimana sekarang?"
"Kuliah mas, di Semarang"
"Oh.."
"Mas danang apa kabar? Dimana sekarang?"

................
Dan itulah yang terjadi, pertemuan singkat, waktu berjalan terasa lambat. Atau seolah waktu bahkan ingin berhenti saat kita saling menanya satu sama lain hingga akhirnya bertukar nomor WhatsApp. Prasangka burukku tentangmu buyar seketika. Ternyata isi kepalamu masih sama seperti dulu. Mungkin waktu yang hampir 4 tahun ini sudah mengajarimu banyak hal. Dan tentu akupun juga. Kita seperti terlahir kembali, setelah sekian lama saling hilang, kemudian bertemu kembali di momen saat salah satu temanku mengajakku untuk ikut dengannya ke sebuah warung makan, ia bilang hendak bertemu seorang kenalan perempuannya yang tidak lain itu adalah kamu. Aku pernah berpikir tidak akan bertemu denganmu lagi, ternyata tidak. Alam punya plan B.

............
Bermula dari WhatsApp, kamu mulai bercerita, berbicara banyak hal ngalor-ngidul seperti yang kamu lakukan dulu-dulu saat kita kenal pertama kali. Tentang apa saja yang terjadi selama rentang waktu menunda pertemuan kita kembali. Kamu masih suka berbicara tentang mimpimu, ambisi besarmu, dan tentang seorang lelaki yang saat ini mengisi tawa di setiap detik hari-harimu.

Aku bersyukur untuk itu. Kamu memang pantas bahagia dan dibahagiakan. Aku tidak merasa cemburu atau apapun, rentang waktu yang lama itupun telah merubahku, membenturkanku kepada setiap kejadian-kejadian hingga membentukku menjadi aku yang sekarang. Tentunya aku sekarang yang juga telah mempunyai wanita hebat yang mengisi setiap gulir waktuku.

Malam itu kita bertukar banyak hal tentang apa yang terjadi selama ini, termasuk kamu bertanya apa alasanku me-remove akun facebookmu. Aku jawab saja dengan polos dan jujur sebagaimana kamu pernah mengajarkannya padaku, bahwa pada saat itu memang aku sudah ada dipuncak rasa benciku padamu. Tapi benci yang bukan disebabkan olehmu, melainkan dari dirimu yang aku ciptakan sendiri dipikiranku.

Selebihnya kamu bercerita tentang perasaanmu sepeninggalanku. Tentu saja aku sangat berterimakasih sebab buku yang aku pernah beri kepadamu ternyata masih kamu simpan rapi. Begitupun dengan rekaman suaraku dalam menyanyikan lagu yang masih kamu simpan di folder laptopmu. Yang membuat aku harus berterima kasih sekali lagi adalah kamu sering memutarnya di depan teman-temanmu, membanggakanku sebagai sesosok lelaki hebat yang kamu merasa bodoh sekali telah melepas keberadaanku dulu.

Kamu bilang ke mereka kalo wanita yang berhasil mendapatkan hatiku adalah wanita paling bahagia sedunia. Teman perempuanmu yang mendengar ceritamu bahkan ada yang sampai ingin bertemu denganku. Aku terharu. Sejauh itu ternyata aku membekas di batinmu. Aku kira aku hanya akan menjadi orang yang lewat kemudian dilupakan olehmu. Ternyata tidak.

Kamu juga berkata jujur tentang kenapa dulu kamu selalu mengalihkan pembicaraan saat aku mulai mengarahkan topik pembicaraan ke arah asmara. Kamu bilang karena dengan cara itu aku bisa menjagamu, karena dengan itu kamu tidak kehilanganku. Kamu merasa masih terlalu labil untukku, kamu takut kehilanganku. Kamu masih merasa kurang untuk dirimu dibahagiakan seorang lelaki yang membacakannya puisi, menyanyikannya senandung lagu-lagu cinta, mampu jadi pendengar baik baginya.

Aku terharu sekaligus bangga, aku tidak pernah menyangka kamu menganggapku sejauh itu. Sejak itu aku tau, aku bersyukur ternyata cintaku selama ini bukan bertepuk sebelah tangan. Hanya saja saat kita dipertamukan kembali, tangan kita sudah saling menggenggam tangan lain. Tapi baiknya kita bisa berdamai dan menerima semua itu. Aku juga meminta maaf untuk tempo hari, saat dimana sebenarnya kamu tidak ingin kehilanganku tapi justru aku menghilang. Dari semua itu, aku kira kita adalah orang yang dipertemukan dengan tepat, hanya saja waktu mempertemukannya terlalu cepat. Bahkan disaat kita sama-sama belum siap.

Terima kasih, sudah sedalam itu pernah mencintaiku.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar