Perihal kehidupan setelah menikah. Aku ingin menceritakannya panjang-panjang, tapi berhubung cuma lewat tulisan, akan ku ceritakan sesingkat dan sepadat yang aku bisa ceritakan. Selain aku tau kamu pasti males baca banyak-banyak *ngaku kalian!*, juga karena sebenernya nulis banyak ya capek juga lah wkwkwk
So, di edisi males mikir kali ini aku cuma mau bercerita hal-hal ringan --yang boleh jadi berat-- kalau kamu pikir-pikir *lah gimanasih? Gitulah pokoknya*
Namaku Da... Kalian taulah namaku siapa, yakan? Kalau masih nggak tau, pindah kewarganegaraan aja, ke kamerun! Catetlah. Namaku Danang Putra Arifka, biasa dipanggil Sayang. S1 Pendidikan Bahasa Arab --ya meskipun kemampuan Bahasa Arabku nggak jago-jago amat sih, kalo cuma ditanya bahasa arabnya 'penggaris' apa? masih bisa lah 'mistorotun' kan kalau nggak salah? Wkwk--
Menikah di umur 24, diluar ekspektasi sebenarnya, karena aku dulu idealis banget, baru mau menikah kalau umur sudah 27, matang secara umur dan mental, dimana secara finansial sudah mapan --meski dengan kenyataan muka tidak terlalu tampan aarrghh-- Tapi apa mau dikata, terkadang hidup memang tidak bisa kita prediksi dengan hitung-hitungan saja, meskipun setiap hari kita melempar angan kita ke langit, namun langit membalas sengit. Kalau aku lebih suka membahasakannya "Aku sendiri yang melempar ekspektasi, aku pula yang ditampar kenyataan..." *Hilih sok puitis*
Bukan, paragraf yang di atas itu bukan bentuk ekspresi kekecewaanku. Aku hanya menggambarkan betapa bagaimanapun indahnya rencanaku, jika berseberangan dengan langit, aku akan tetap kalah. Tapi akupun percaya, langit punya rencana bagus di balik kalahnya doa-ku dengan kenyataan yang -mau tidak mau- memang harus aku terima itu.
Intinya, meskipun terkadang hidup tidak sesuai rencanamu, kamu hanya harus berpikir positif. Alam punya segala hal yang disediakan untuk nanti suatu hari kamu mengerti. Kalau bahasa anak jaman sekarang itu stay humble & focus. Wkwk.
Sampai sini, paham? Lanjuutt...
Istriku bernama Laila, ya. Mirip sekali dengan wanita yang di gilai Qais si majnun. Tapi ini bukan cerita padang pasir bung! Ini kenyataan. Menurutku ia cantik. Kalau menurutmu tidak, berarti selera kita berbeda. Kamu tau kan, di dunia ini tidak ada yang mutlak benar dan salah. Kalau ada suatu hal yang menurutmu salah, barangkali itu benar di mata orang lain. Untuk itu bekalilah dirimu dengan banyak pengalaman supaya tidak jadi orang yang mudah menyalah-nyalahkan atau membenar-benarkan yang salah *Kok ngelantur ceritanya?*
Dia (istriku) dulunya adalah adik kelasku waktu masih sekolah, praktis umur kita hanya terpaut 1 Tahun. Oke! Tidak apa-apa. Jangankan dengan yang setahun dibawahku, setahun di atasku pun, aku mau. Artinya aku tidak menolak apapun pemberian Tuhan mau itu lebih muda atau lebih tua dariku.
24 - 23 Tahun kurasa adalah usia yang sudah lebih dari cukup sesuai aturan yang diperbolehkan oleh pemerintah, meskipun aku pribadi belum merasa benar-benar matang saat menikah. Bagiku umur 24 itu masih terlalu muda untuk menikah. Tapi, yasudahlah.
Keluargaku berencana perayaan pernikahannya di selenggarakan secara biasa saja --alias akad di KUA, habis itu pulang--. Tidak ada acara resepsi seperti sebagaimana biasanya orang menikah. Selain karena butuh budget banyak, keluargaku memang tidak suka merepotkan banyak orang, terutama tetangga-tetangga dekatku yang pasti ikut repot kalau ada acara besar macam resepsi.
Namun kenyataan tidak sesuai rencana, dari pihak keluarga istriku menginginkan adanya pesta resepsi. Selain karena istriku adalah anak pertama, juga memang dari adat istiadat keluarganya selalu ada acara resepsi setiap sanak-family ada yang menikah. Aku bilang tidak apa-apa. Yang penting kedua belah pihak keluarga sama-sama oke. Akhirnya di gelarlah acara resepsi dirumah mertuaku, meskipun dengan sederhana namun bersahaja. Dan aku suka yang seperti itu.
Setelah menikah aku memboyong istriku pulang kerumahku dengan alasan karena aku adalah anak satu-satunya yang dipunyai ibu. Jadi, dari awal sebenarnya aku memang mencari istri yang bisa aku bawa tinggal kerumahku. Selain karena memang istriku masih punya 2 adik, jadi mertuaku tidak mempermasalahkan itu.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, berat juga menjadi istriku. Butuh kelapangan hati selapang-lapangnya untuk merendahkan egonya sendiri dengan merelakan dirinya meninggalkan kenyamanan bersama keluarganya untuk kemudian mau ikut bersamaku. Tentu jika aku menyakitinya itu dosa sekali.
Kehidupan setelah menikah tidak serta merta mulus seperti rencana yang ku bangun. Dirumah aku tinggal bersama istri dan ibuku. Tentu kamu tau keadaan rumah tidak selalu baik-baik saja. Sebab intensitas pertemuan yang terlalu sering, lebih tepatnya setiap hari. Tidak jarang pula ada gesekan-gesekan kecil yang menjadikan kita belajar bersama saling mendewasa.
Kadang saat ada insiden antara istri dan ibuku, aku hanya mendengar cerita mereka berdua tanpa berkomentar sepatah katapun, menurutku mereka tidak sedang benar-benar saling marahan, melainkan hanya butuh untuk masalahnya di dengar. Sekali lagi aku bersyukur telah dilahirkan dikeluarga seperti ini. Menurutku orang yang hidupnya bahagia adalah orang yang lahir dari keluarga yang tidak selalu baik-baik saja.
Setelah satu tahun usia pernikahan, Tuhan menitipkan malaikatnya yang bertugas melipur lara kepadaku. Oleh sebab terlahir belum punya nama, ku namai saja Damar A. Gustian. Dia adalah buah hatiku, hasil kerjasama aku dengan istriku *anjay kerjasama* Dan benar saja, ia melakukan tugasnya dengan baik (malaikatku), melarutkan kekakuan yang ada di rumah, merubah tegang menjadi tawa riang, membuat lelah se-keluarga jadi hilang. Dia adalah Damar, malaikat luar biasa yang dititipkan tuhan kepadaku, di tempat dan di waktu yang tepat. The end.
Oiya, aku mau nanya. Serius! Sudah sejauh mana rencana pernikahanmu? Masih di tahap pencarian, sudah menemukan, atau malah sudah proses menghalalkan? Tidak mungkin kamu pasif-pasif aja dong, secara di luar sana buaya laut sudah mulai mengekspansi daratan untuk berlomba-lomba bilang "Minta nomer WA-nya dong, ukhty..." Dan dititik itu kamu belum punya rencana apa-apa? Coba cek denyut nadimu, barangkali sudah mandek. Wkwkwk
Ya intinya apapun itu,
Mau nanti menikah usia muda, of course!
Mau nanti menikah setelah usia matang, semau-maumu!
Mau nanti menikah meriah, silahkan!
Mau nanti menikah sederhana, tidak apa-apa.
Mau nanti setelah menikah, menempati rumah sendiri/ngekos/ngontrak, boleh!
Mau nanti setelah menikah tinggal serumah dengan mertua, monggo!
Yang paling penting dari semuanya menurutku adalah ketetapan hati untuk legowo menerima segala hal yang tidak bisa kita perdiksi yang terjadi dikehidupan setelah menikah.
Apakah dengan aku menikah di usia yang tidak sesuai yang aku rencanakan kemudian aku menyesal? Apakah setelah rencana pernikahan berjalan tidak sesuai harapanku aku merasa kecewa?
Tidak. Sama sekali.
Ada banyak hal yang terkadang membuatku bangga menjadi diriku sendiri, terutama saat menikah, yang mungkin tidak banyak orang tau. Aku bersyukur biaya maskawin, seserahan dan segala tetek bengeknya bisa aku tutup menggunakan uang tabunganku sendiri, meski tidak banyak, alhamdulillah cukup.
Mungkin, kalau diberi Tuhan pilihan untuk kembali ke masalalu untuk membenahi penyesalan-penyesalan atas rencana-rencana yang gagal, aku tidak mau. Kalaupun mau, aku tetap tidak akan mengubah apa-apa. Sebab menurutku ini sudah yang paling sempurna! Terlepas dari beberapa hal yang memang melelahkan di masalalu.
Jadi kapan kamu mau nikah? Hehehe
Yang bilang cantik dapet kulkas 2 pintu. |
"Haauuuu...." |
Hey, apa liat-liat? Ku hajar kau. |
0 komentar:
Posting Komentar