Kamu suka nasi goreng?
Kamu pasti suka. Kalau tidak suka, pasti bukan nasi goreng yang kamu pesan, melainkan kwetiauw, mie goreng atau menu yang lain setiap kali kita keluar cari makan.
Kamu penyuka hewan?
Kurasa iya, jika tidak kenapa kamu bela-belain beli sepasang kucing kembar yang masih kecil dan unyu-unyu itu? Kalau kamu tidak penyuka hewan harusnya tidak perlu kamu namai segala, kenyataannya malah kamu beri nama ia Men dan Tatung. Agak berlebihan menurutku untuk seukuran nama kucing. Waktu kutanya apa artinya itu, kamu malah cengengesan sambil menjawab "Hehe. Apalah arti sebuah nama?" Tapi itulah kamu. Dirimu yang sebenarnya.
Kamu bisa main gitar?
Tentu saja. Kalau tidak bisa, tidak mungkin kamu sering mengirim lagu-lagu yang biasa kamu bawakan dengan gitar, untukku. (Mungkin sering itu terlalu berlebihan, tapi nyatanya setiap datang kiriman lagu darimu aku selalu senang mendengarnya).
Kamu pintar nggak sih?
Definitely, yes! Kamu pintar. Kalau tidak pintar aku tidak akan sering menanyakan soal-soal ulanganku sama kamu. Tidak mungkin juga kamu dipilih sekolah sebagai delegasi lomba matematika tingkat provinsi.
Kamu banyak teman?
Tentu. Aku menyaksikan sendiri. Kalau kamu tidak punya banyak teman, tidak mungkin setiap kita jalan, selalu ada saja orang yang klakson-klakson, melambaikan tangan, menganggukkan kepala, atau sekedar "weeehh...." Mereka semua aku yakin adalah orang yang mengenalmu. Atau minimal pernah bersinggungan dalam suatu hal denganmu yang menyebabkan mereka ingat padamu.
Aku?
Aku bukan siapa-siapamu lagi, sekarang. Aku hanya orang yang awalnya tidak ada, dan kemudian menjadi ada, lalu kembali tidak ada, di kehidupanmu yang lapang. Kalau dipikir-pikir, kenapa aku malah pergi? Lucu, iya. Jahat, iya. Bodoh, iya. Menyesal, sekarang iya.
Semuanya baru terasa saat aku mengerti, ternyata pernah sedalam itu aku dicintaimu, justru dengan begitu jahatnya aku meninggalkanmu, seseorang yang bahkan takut sekali kehilanganku.
Ingin kembali seperti dulu?
Tidak. Aku cukup tau diri. Kamu bagiku adalah keajaiban yang telat aku sadari. Mungkin rasamu sudah mati untuk menerimaku. Bahkan untuk sekedar memaafkan kesalahan-kesalahanku yang dulu.
Aku masih ingat, kamu pernah menuliskan kepadaku, "Jangan memainkan perasaan seolah esok suaramu masih selalu bisa kudengar lembut, sedang setiap malam sudah bukan namaku lagi yang kamu sebut. Sulit memang berbicara pada seseorang yang perasaannya sudah hilang. Kesal, jelas! Aku yang berlari mengejarmu sekuat tenaga, harusnya aku yang juara. Tetapi mengapa dia yang mengangkat piala? Kalau memang sengaja ingin pergi, pergi saja! Sakit, memang. Tapi itu menghilangkan sekat, antara aku dan kamu, kamu dan dia. Pergilah yang jauh, jangan kembali!"
Aku, cukup mengerti.
Dari itu,
Sampai jumpa di lain persimpangan.
Aku yang bodoh ini, memang tidak pantas dianggap kenangan.
Terimakasih, kepadaku, kamu pernah punya perasaan.
0 komentar:
Posting Komentar