Bukankah kita sudah memutuskan untuk sejalan?
Tapi kenapa kamu tidak pernah mengajakku jalan-jalan?
Tidak perlu aku kasih tahu kamu juga pasti sudah tahu. Di cinta-cinta yang sebelumnya aku yakin kamu pernah merasakan. Apa menurutmu berjalan sendiri itu menyenangkan?
Aku ingin tahu alasan apa yang kamu genggam-sembunyikan dibalik punggungmu. Berkali-kali aku bertanya kepadamu yang kudapat malah aku menjawab sendiri pertanyaanku karena kamu lebih memilih mengunci mulutmu rapat-rapat tanpa satupun kalimat.
Kamu sibuk? Sibuk apa? Ternak lele atau lagi bikin kandang macan? Setahuku kan kamu selalu dirumah. Sesekali keluar kalau lagi futsal dengan teman-temanmu. Kamu tidak terlalu doyan kopi. Oh, kenapa tidak terpikirkan olehku, kamu phobia jalanan? jalanan yang ketika aku duduk diatas motormu sambil melingkarkan kedua tanganku pada perutmu, kamu takut kalau-kalau ada mata seseorang yang menangkap kita?
Sebentar. Kamu sedang tidak punya uang, kah? Astaga. Harusnya kamu bilang! Sisa uang saku yang ku kumpulkan masih cukup untuk menjamin isi perutmu dan perut motormu. Jangan malu, sayang. Semua bisa dikompromikan asal dikomunikasikan. Nanti kalau kamu sudah ada uang gantian traktir aku. Beres, kan?
Tunggu dulu! Aku harusnya menyadari ini. Sekarang lagi musim hujan, kan? Apa memang cuma itu alasan yang paling bagus untuk menjawab kenapa tidak mau mengajakku jalan-jalan? Baiklah. Aku menyerah. Kita tidak usah jalan-jalan. Di ganti kamu main kerumahku, mau? Nanti ku kenalkan sama orang tuaku. Tidak, mereka tidak galak seperti yang mungkin terlintas dibenakmu. Nanti ku kenalkan juga dengan kucing kesayanganku yang berwarna dominan abu-abu. Kita ngobrol diteras, diruang tamu atau sekalian diruang keluarga bersama ibu-bapak dan kakak-adikku. Gimana, mau?
Sebenarnya aku tidak ingin banyak memikirkan hal ini, akan tetapi semakin ku tampik semakin tampak tanda tanya besar yang menggantung dijantungku. Aku benci harus mengisi titik-titik kosong dari diammu yang susah ku kalimatkan. Sesungguhnya siapa yang kemarin-kemarin menaruh madu pada lidahmu? Setiap kata yang terucap darimu menerbangkanku. Sumpah cintamu ku dengar bagai mantra surga. Lalu apa gunanya kemarin-kemarin kau memberiku harapan panjang kalau hari ini kau paksa aku berpikir panjang? Atau malah jangan-jangan kamu tidak sedang benar-benar mencintaiku? Dan diammu, seolah berisyarat 'untuk yang kemarin itu, buang saja dan anggap semua tidak pernah ada'.
Lalu, aku kekasih siapa kemarin-kemarin itu?
0 komentar:
Posting Komentar