Hei, Damar. Anakku yang kini sudah beranjak dewasa. Saat menulis ini ayah masih muda, otot-otot ayah masih kencang, masih siap melakukan segala aktifitas kerja dengan baik, berangkat pagi pulang malam demi agar segala kebutuhan keluarga kecil ayah tercukupi.
Ketahuilah satu hal bahwa ayah sangat menyayangimu, meskipun jarang sekali ayah mengekspresikan hal itu yakinlah bahwa ayah selalu punya cara lain untuk mengungkapkannya, meski terkadang cara ayah sedikit otoriter dan mengekang.
Kamu harus tahu ini suatu hari nanti, tentang ayah yang begitu bahagia punya kamu. Matamu, pipimu, hidungmu, bentuk wajahmu itu semua punya ayah. Tapi satu hal yang membuat ayah sedih, adalah ayah sadar bahwa tidak selamanya ayah bisa menimangmu, tidak selamanya ayah bisa mencium pipimu, tidak selamanya ayah bisa menggendongmu. Hal ini disebabkan umurmu yang bertambah dan ayahpun semakin menua dimakan usia.
Semakin umurmu bertambah pun usia mentalmu juga bertumbuh, akan ada masanya nanti kamu akan malu ketika ayah cium. Tapi itu tidak jadi masalah, ayah bisa mengerti karena ayah pernah jadi seusiamu. Hanya saja hati ayah mana yang tidak menangis ketika tau anaknya yang sedari kecil disayang-sayang, ditimang-timang begitu menginjak masa remaja ia lupa bahwa ayahnya teramat mencintainya.
Kalau suatu hari nanti kamu menemukan tulisan ini, ayah hanya ingin berpesan dua hal kepadamu:
Pertama, ayah minta maaf kalau ayah tidak bisa seekspresif ibu, maaf kalau ayah juga tidak bisa seromantis ibu dalam memperlakukanmu atau barangkali mungkin ayah sedikit keras dengan memukul dan menjewer telingamu. Tapi semua bentuk hukuman yang ayah berikan padamu adalah bertujuan untuk agar kamu menjadi pribadi mandiri dan tidak manja, selebihnya ayah sangat mencintaimu.
Kedua, sayangilah ibu sebagaimana ia menyayangimu, yang barangkali tidak kamu tahu adalah: ibumu adalah orang yang menemanimu, menggendongmu, menimangmu dari mulai kamu masih menjadi bayi yang tidak asyik, yang sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit minta digendong, sampai kamu besar kemudian menemukan keasyikan dengan pergaulan teman mudamu lupa-lupa sampai menganggap ibumu sendiri tidak asyik. Ketahuilah bahwa jauh sebelum kamu sudah seperti sekarang, orang pertama yang dengan sukarela mengajakmu berbicara adalah ibu, sekalipun ibu tau kamu belum bisa menjawabnya. Dia adalah orang pertama yang paling bersyukur atas kelahiranmu. Bahkan kalau ayah boleh bilang, rasa sayang ayah ke kamu itu tidak ada apa-apanya dibanding kasih sayang ibu padamu. Maka dari itu, jangan kecewakan ibu.
Ttd: Ayah yang sangat mencintaimu dan ibu.
Ayahmu, Danang Putra Arifka
0 komentar:
Posting Komentar