Danang Putra Arifka's

Blog

Cerita Hari Rabu: Aku, Bang Syad dan Bapak Kernet

Leave a Comment

Itu adalah ceritaku di hari rabu. Hari itu aku pergi naik bus (omprengan) antar kota, dari Ngemplak Kidul menuju Pati Kota. Tidak sendirian, saya mengajak dia, dia temanku, namanya Rosyad, aku lebih akrab memanggilnya Bang Syad. Dia bangga dengan panggilan itu, buktinya sampai dibikin nickname facebook juga. Seperti dia memang lebih suka dipanggil begitu daripada nama aslinya.


Meski panggilannya terdengar rada brengsek tapi sebenarnya dia baik, dia sering menemaniku kemana-mana, termasuk pernah bantu memperbaiki pintu konterku yang rusak, menata tata ruang konter, pernah bantu edit foto juga waktu aku ada job foto engagement tapi males ngedit, aku serahkan sama dia dan masih banyak hal-hal lain yang tidak cukup kalau aku tulis satu-satu. Intinya dia lebih seperti asisten pribadiku ketimbang sebagai teman, meskipun sebenarnya kami tidak lebih dari teman biasa.


Hari itu saya ajak dia ke Pati Kota. FYI, Pati adalah nama sebuah kabupaten yang lumayan besar di Jawa Tengah, pusat Kotanya ada di Pati Kota. Dimana di sana terdapat banyak toko-toko besar dan pusat perbelanjaan. Aku pribadi sering ke sana, khususnya untuk mencari sparepart untuk HP servisan yang masuk ke konter.


Dari tempat tinggalku ke Pati Kota jaraknya lumayan jauh, kalau lalu lintas lagi bagus naik motor makan waktu sekitar 30 menitan, habis bensin 1 liter (menurut perkiraanku yang tidak bisa dipertanggungjawabkan). Tapi kalau naik bus makan waktu kurang lebih sampai 40 menit, tergantung supirnya. Kalau supirnya berjiwa Dominic Toretto mungkin nggak sampai 40 menit.


Biasanya sih aku suka riding motorcycle and singing a lot of song along the way, tapi karena akhir-akhir ini cuaca tidak menentu aku jadi lebih memilih naik bus supaya terhindar dari hujan air. Lagipula kalaupun tidak hujan setidaknya aku terhindar dari terik matahari, lalu lintas yang semrawut dan tentu saja terhindar dari polisi serta polusi sisa pembuangan knalpot kendaraan yang tidak baik untuk paru-paru.


"Yakin nih kita naik bus?" Tanya Bang Syad dengan pose jongkok dipinggir jalan sembari menunggu bus antar-kota lewat, dia seperti masih tidak percaya kalau akan aku ajak naik bus, karena memang biasanya kalau sama dia aku naik motor.


"Capek kalau naik motor, naik bus sekali-sekali biar nggak capek" Jawabku sambil celingukan ke arah datangnya bus untuk memastikan adakah bus yang sudah terlihat dari kejauhan.


Suasana jalan Pati-Tayu pagi itu cukup lengang, lumayan bersahabat untuk para pengguna sepeda motor. Beberapa bentor (becak motor) dari arah pasar menuju perempatan Ngemplak Kidul terlihat beberapa kali berseliweran. Semenjak awal 2020 pasca masuknya Covid-19 menjadi pandemic global jalan-jalan besar jadi terasa sepi, sekolah-sekolah jadi online, pabrik-pabrik beberapa ada yang melalukan pemangkasan karyawan, bukan rambutnya yang dipangkas, melainkan status pekerja-nya. Menjadikan kendaraan umum seperti bus jadi semakin langka. Biasanya setiap 5 menit sekali pasti ada bus lewat, aku sedari tadi menunggu setidaknya sudah 15 menit belum ada satupun yang nongol.


"Nanti baliknya ngebis lagi dong?" Bang Syad bertanya lagi setelah menyedot batang rokoknya yang tinggal satu sedotan sebelum akhirnya ia hempaskan puntungnya ke tanah.


Aku jelaskan kepada dia, bahwa memang begitulah rencananya, berangkat naik bus, pulang juga naik bus. Kecuali kalau-kalau ada Son-Goku yang sedang muter-muter di langit pakai awan Kinton lagi gabut kemudian ngasih kita tumpangan pulang, lain lagi ceritanya, nggak baik nolak rejeki, pamali.


Aku menjelaskan sambil jongkok di pinggir jalan mengimbangi pose Bang Syad supaya terlihat seperti sepasang primata pemberani yang sedang menunggu dilempari pisang. Aw~


Setelah sekian purnama merindu, datang juga yang kita tunggu-tunggu. Bus dua pintu warna kuning mirip Lani temannya Tayo dalam serial film kartun anak-anak 'Hey Tayo' datang samar-samar dari kejauhan, menembus lalu lintas yang ragu-ragu pagi itu.


Tidak lama kemudian bapak bertopi hitam memakai kaos salah satu brand rokok bercukai dalam negeri turun dari bus kemudian menyuruh kami naik, rupanya beliau adalah kernet bus itu. Dugaanku benar. Yang mengira dia adalah bapak-bapak gabut adalah bodoh, nyatanya bapak itu sedang bekerja, sebagai kernet bus.



"Naik dek!" Katanya.


Yang dimaksudkan bapak kernet adalah kami berdua disuruh untuk segera masuk ke dalam bus. Seketika karena bapak kernet itu bilang "Naik dek" aku jadi ingat Negara India, dari beberapa referensi gambar yang aku temui di internet; bus di negara kelahiran Shah Rukh Khan itu seperti selalu penuh penumpang, sampai berhamburan ke atap bus.


Untungnya aku dan Bang Syad cukup mengerti bahwa kata 'Naik dek' yang diucapkan bapak kernet tidak bermaksud untuk mempersilahkan kami berdua naik kemudian duduk di atap bus. Melainkan masuk ke dalam dan duduk manis sembari menunggu sampai di tujuan. Begitu banyak referensi yang ada di kepalaku namun entah mengapa yang aku ingat saat itu adalah negara India. Ah, aku malah jadi teringat parodi lagu it's my life yang dinyanyikan mas-mas cungkring berkumis aneh dari India di TikTok hehe


Salah satu usaha Bung Karno di masa orde lama dalam memberantas buta huruf ku kira benar-benar terasa saat ini, setidaknya karena jasa beliau aku jadi mengerti bahwa setiap perkataan tidak harus selalu dimaknai secara tekstual, dibutuhkan pemahaman serta kontekstualisasi yang tepat dalam menguraikan makna sebuah ucapan.


Sampai mana tadi? Kok malah ngelantur kemana-mana. Oiya, sampai 'naik dek'.


Kami tidak menjawab satu pun kalimat dari ucapan pak kernet tersebut, karena kami cukup mengerti bahwa itu bukan sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Kami hanya bergerak masuk ke dalam bus kemudian membenamkan diri disitu, di kursi panjang bus paling belakang, bersama juga penumpang lain yang tidak aku tau latar belakang dan apa tujuannya naik bus ini. Yang pasti, setiap dari mereka punya tujuan.


Bus melaju dengan kencang memotong ruang dan waktu, angin sepoi-sepoi yang berasal dari pintu belakang membuatku terlena dalam kenyamanan, seolah seperti begitu alami. Sesekali bus berhenti menjemput penumpang. Seorang wanita paruh baya naik, ia terlihat seperti menjinjing keranjang lumayan besar berisi belanjaan. Sementara wanita itu mengambil kursi duduknya, bus kembali melaju tanpa ampun seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu.


Dari pintu depan terlihat bapak kernet berjalan merambat ke arah belakang, ku dengar beberapa kali Bang Syad mengajakku bicara namun tidak aku respon karena aku fokus pada bapak kernet yang sedang berjalan ke arahku.


Benar saja, bapak kernat menengadahkan tangannya untuk minta uang ongkos kepada bapak tua yang mengenakan baju safari dan celana bahan panjang yang duduk disebelah kiriku.


"Puri..." Ucap bapak itu sambil memberikan satu lembar uang pecahan Rp. 10.000 kepada bapak kernet.


Maksud ucapan beliau mengisyaratkan kalau beliau ingin turun di Halte Puri, yang mana Halte Puri itu letaknya ada di sebelah selatan Pasar Puri, tepatnya sebelah timur perempatan besar jalan Ronggo Warsito.


Tampak pak kernet menyimpan uang itu tanpa memberi kembalian sambil menganggukkan kepalanya tanda bahwa beliau sudah paham atau mengerti yang diinginkan bapak disebelahku.


Tiba pada giliranku, bapak kernet menengadahkan tangan meminta ongkos padaku. Bang Syad menatap ke arahku, aku menganggukkan kepala tanda bahwa aku mengerti ongkosnya aku yang bayar. Aku keluarkan uang pecahan Rp. 20.000 dari dalam waist bag kecil yang selalu terkalung dileherku. Namun sebelum aku berikan uangnya pada bapak kernet aku lebih dulu mengambil kertas nota dan bolpoint yang ada di dalam tas.


Di atas kertas nota itu aku menulis dengan memakai huruf kapital.



HALTE YAIK...


Bapak kernet mengangguk, tanda dia mengerti bahwa aku ingin turun di Halte Yaik yang letaknya berada disebelah timur pertigaan besar dekat taman kota 2 atau taman kota baru. Bapak kernet memandangiku dengan seksama kemudian menyimpan uang yang ku beri, ia tampak seperti akan memberi kembalian padaku, namun sebelum bapak kernet memberikan uang kembaliannya kepadaku, dengan segera aku menulis lagi di atas kertas nota yang tadi.



KEMBALIANNYA BUAT BAPAK SAJA. SEMOGA JADI BERKAH~


Bapak kernet yang tadinya mau memberikan dua lembar uang kertas Rp. 2.000 lantas mengembalikan uang itu ke dalam susunan uang ditangannya sambil  menangkupkan kedua tangannya sambil tersenyum persis seperti posisi orang bukan muhrim yang sedang minta maaf saat hari raya idul fitri, sebuah isyarat bahwa beliau berterimakasih kepadaku. Aku cuma membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum kecil. Bang Syad dan bapak berbaju safari di sebelahku mulai menatap ke arahku dengan tatapan seperti orang bingung.


Detik selanjutnya aku hanya melihat dari belakang, bapak kernet yang sedang meminta ongkos kepada penumpang lain. Disamping itu bus masih terus melaju, sesekali juga berhenti untuk mengambil penumpang, melaju lagi dan kemudian berhenti kembali, hal itu berulang-ulang secara sporadis sebelum akhirnya tempat tujuan kami sudah nampak dari kejauhan.


Bapak kernet berlari kecil dari shofa ke marwa, tentu tidak dong, lebih tepatnya dari pintu depan ke belakang hanya untuk ingin memberitahu kami bahwa sebentar lagi bus sampai di Halte Yaik. Sebenarnya aku dan Bang Syad sudah tau hanya saja kami melihat itu sebagai bentuk perhatian dari bapak kernet kepada kami, untuk itu aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.


Begitu bus berhenti di traffic light atau lampu merah yang tempatnya berada persis sebelum Halte Yaik, aku mengisyaratkan kepada bapak kernet untuk diturunkan disini saja. Kemudian dengan senang hati bapak kernet mempersilahkan kami untuk turun.


Kebetulan saja sesaat setelah kami turun lampu merah berganti hijau, itu tandanya bus harus segera bergegas. Sebelum bus lanjut berjalan, bapak kernet mengucapkan sebuah pesan kepada kami "Hati-hati mas" ucap beliau ramah.


Setelah roda bus mulai beranjak aku meletakkan kedua tanganku di kedua sisi kanan dan kiri mulutku, sembari berkata setengah berteriak "Matursuwun, pak. Sampun diterke..." (Terima kasih, pak. Sudah diantar) Ucap saya.


Nampak dari bus yang semakin menjauh, di pintu belakang bus ku dapati bapak kernet melongo dengan wajah kosong yang kemudian setelah itu disusul dengan tawa beliau yang meskipun sudah rada jauh tapi masih terlihat dari tempatku berdiri.


Detik kemudian aku dan Bang Syad berjalan sambil tertawa-tawa. Hari itu adalah hari rabu yang cerah. Kali ini dugaanku salah, ku kira akan ada hujan ternyata tidak. Aku dan Bang Syad tetap begini meskipun lalu lintas hari rabu ramai begitu.


Kejadian di bus barusan bukan aku berniat mengerjai bapak kernet, melainkan aku hanya ingin berbagi senyum kepada bapak kernet yang mungkin bagi sebagian orang dianggap hanya sebatas tukang tarik ongkos. Padahal tidak. Terlepas dari pekerjaannya, dia tetaplah manusia biasa. Punya masalah, punya beban, punya tanggungan, dsb.


Jika yang kamu punya baru sedikit maka berbagilah dengan sedikit yang kamu punya! Jangan ditunggu sampai terkumpul banyak baru berbagi. Karena bisa jadi sebelum terkumpul banyak ajal lebih dulu mendatangi. Jangankan setahun lagi, besok saja kita tidak tau. Wallahu a'lam bis shawab~

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar